Sabtu, 22 Oktober 2016

Hari Santri, Santri Adu Ketangkasan Masak Terong

KREASIKAN TERONG : Santri Ponpes NTI Kebonharjo berlomba-lomba menjadi yang terbaik dalam adu kreasi masakan berbahan terong dalam rangka menyambut hari santri 2016 (Al-Ittihad)
Al-Ittihad – Ada hal berbeda dari rangkaian peringatan hari santri 2016, di Ponpes Nahdlatut Tholibin al-Islamiyyin (NTI) Kebonharjo Jatirogo. Minggu, (23/10) seluruh santri Ponpes NTI menggelar adu kreasi mengolah makanan berbahan terong.

Ada 12 kelompok santri yang mengikuit perlombaan dengan bahan utama terong itu. Mereka diberikan waktu selama dua jam menyajikan makanan bebas dengan bahan utama terong. Sontak, setelah bel tanda dimulainya perlombaan berbunyi, seluruh santri yang tergabung dalam kelompok-kelompok berbeda itu heboh mempersiapkan penyajian makanan.

Sebagian santri bertugas memasak nasi liwet, dan sebagian lagi menyiapkan bumbu untuk menu yang akan dibuat. Ada juga santri yang ditugasi untuk mempersiapakan aneka hiasan penyaji demi menarik dewan juri.

Dari 12 kelompok yang ambil bagian dalam perlombaan itu, sebagian besar menyajikan menu khas pesantren, sambel terong. Sebagian lagi mencoba mengkreasikan terong menjadi sajian unik, sate terong. Bahkan ada kelompok santri yang nekat mencoba mengolah terong menjadi gorengan campur telor.

Pengasuh Ponpes NTI, KH Achmad Alam Farid mengatakan, perlombaan yang pertama kali digelar itu untuk memberikan apresiasi kepada para santri. Terong merupakan bahan makanan wajib yang umum ada di setiap pesantren.

“Santri pasti tidak lepas dari sambel terong. Maka, kami membuat lomba memasak dengan bahan terong dan nasi liwet pas di saat momen hari santri 2016. Santri harus bangga dengan identitas mereka,” kata lelaki yang akrab disapa Gus Mad ini.

Sementara itu, seorang seorang santri, Anin Maulidiyawati mengaku terhibur dengan perlombaan masak berbahan dasar terong itu. Lomba seperti ini sebagai sebuah penghargaan terhadap kebiasaan yang dilakukan oleh santri.

Selain itu, dalam perlombaan ini santri juga diuji kekompakannya. Sebab, setiap kelompok yang beranggotakan setidaknya 20 santri membuat mereka harus bisa berbagi tugas dengan yang lain.

“Dengan waktu hanya 2 jam dan kami harus menghidangkan sajian dengan bahan utama terong yang unik dan lezat. Ini berat namun nikmat. Kami dituntut untuk kompak dan bersatu agar menghasilkan sajian yang menggoda para juri,” ungkapnya. (Red)

Hari Santri, Mati Sahid atau Hidup Merdeka

APEL SANTRI : Seluruh santri Ponpes Nahdlatut Tholobin al-Islamiyyin (NTI) Desa Kebonharjo Jatirogo menggelar upacara dalam rangka hari santri 2016 di halaman MTs dan MA Unggulan Ulumiyyah (Al-Ittihad)

Al-Ittihad – Santri Ponpes Nahdlatut Tholibin al-Islamiyyin (NTI) Kebonharjo menggelar upacara hari santri 2016 pada Minggu 23 Oktober. Upacara diundur sehari lantaran pada 22 Oktober kemarin ada agenda rutin yang sudah jauh-jauh hari direncanakan oleh pengurus Ponpes.

Meskipun terlambat sehari, upacara hari santri tetap berlangsung khidmat meskipun di bawah rintik hujan. Semua santri mengikuti jalannya upacara dengan menggunakan sarung dan berpeci. Tidak ada keseragaman pada kostum mereka. Hal ini sebagai simbol bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesuia (NKRI) berdiri di atas keberagaman.

Bertindak sebagai pembina upacara, sesepuh Ponpes NTI, KH Abdul Manaf. Dalam sambutannya Kyai Manaf menjelaskan kepada santri NTI tentang resolusi jihad yang dicetuskan oleh KH Hasyim As’ari.

Kyai Manaf juga menceritakan betapa heroiknya perjuangan santri dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Mereka bahu-membahu bertempur seperti singa kelaparan melawan sekutu yang dikomandoi oleh Inggris dalam pertempuran Surabaya.

“Pertempuran tiga hari tiga malam itu berhasil menewaskan jenderal Inggris, AWS Mallaby. Santri dan para pemuda tanpa rasa takut sedikit pun melawan kecanggihan tentara sekutu. Mati sahid atau hidup merdeka, itu pilihan mereka,” jelas Kyai Manaf berapi-api.

Menurut Kyai Manaf, santri era kini harus terus memperjuangkan cita-cita luhur yang telah dibuat oleh para pendahulu bangsa. Santri sejati harus menjunjung tinggi NKRI, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan UUD 1945. “Mari kita semua santri NKRI, berkarya untuk negeri. Dari santri untuk negeri, negeri yang berdiri di atas keberagaman, Indonesia,” tandasnya.

Ketua panitia peringatan hari santri 2016, Da’in Munthoha mengatakan, rangkaian peringatan hari santri digelar untuk menumbuhkan kembali sikap dan identitas santri. Sehingga keberadaan hari santri ini akan selalu menjadi momentum perjuangan dalam mengawal kemerdekaan Indonesia. (Red)

Sabtu, 08 Oktober 2016

Banin-Banat, Tradisi Pesantren yang Harus Dipertahankan

(Majalah Al-Ittihad)

Al-Ittihad – Tahun ini pembangunan gedung baru gencar-gencarnya dilakukan  oleh Yayaan Ponpes al-Barmawy Kebonharjo. Setelah keberhasilan pembangunan dua ruang gazebo di tahap pertama, kini yayasan pimpinan KH Fatchurahman itu kembali menyelesaikan pembangunan empat unit gazebo baru.

Gazebo tersebu terbukti banyak membuat banyak siswa lebih bersemangat dalam mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Selain empa unit gazebo, tahun ini Yayasan Ponpes al-Barmawy juga membuat lahan parkir parkir dan kantin madrasah baru.

Dalam praktiknya, penggunaan gazebo sebagai ruang kelas ternyata mampu memberikan banyak dampak positif. Selain lebih sejuk dan bisa melihat pemandangan sekitar, pembuatan ruang kelas dengan model gazebo juga memangkas nilai pembangunan. Sehingga anggaran dari yayasan bisa dipecah untuk keperluan pos lainnya.

Penambahan ruang kelas di lembaga pendidikan dalam naungan Yayasan Ponpes al-Barmawy ini sebagai pendukung untuk mencapai visi yayasan. Sejak pertama kali berdiri Yayasan Ponpes al-Barmawy memang memiliki cita-cita untuk menempatkan siswa putrav dan putri dalam rungan terpisah.

Tahun ini, pemisahan ruang kelas untuk putra-purti resmi dimulai. Meskipun awalnya hanya sebagian Rombongan Belajar (Rombel) saja yang dipisah, namun sekarang pemisahan sudah dilakukan secara keseluruhan. Berlaku di MTs dan MA Unggulan Ulumiyyah.

Tradisi Pesantren Harus Dilaksanakan  

Sejak dahulu lembaga pendidikan bercorak pesantren selalu menjalankan tradisi Islam dalam konteks formal. Hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh dampak globalisasi yang semakin merasuk hingga setiap jengkal kehidupan. Bagi kalangan umum, batas pergaulan antara perempuan dan laki-laki cukup tersamar. Ini yang harus dicoba untuk ditegakan dalam lingkup pendidikan pesantren.

Oleh karena itu, pemisahan ruang kelas putra (banin) dan putri (banat) yang merupakan salah satu tradisi dalam pesantren harus selalu dikedepankan. Hal itu sebagai salah satu filter terhadap dampak globalisasi zaman. “Pemisahan ruang kelas sebagai wujud pelaksanaan tradisi pesantren,” ungkap seorang pengurus Yayasan Ponpes al-Barmawy, KH. Abdul Manaf.

Dalam konteks Ulumiyyah, jumlah peserta didik yang belum begitu banyak menjadi salah satu kendala pelaksanaan kebijakan pemisahan ruang kelas. Sehingga, ada beberapa Rombel yang jumlah siswanya kurang dari 20 anak.

Menurut KH Abdul Manaf, sedikitnya jumlah siswa dalam satu Rombel bukan menjadi alasan kemunduran proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Justru sebaliknya, hal itu akan menjadi motivasi dan dorongan bagi siswa untuk bisa meraih prestasi terbaik dalam bidang pendidikan.

“Saya merasa lebih bersemangat ketika belajar dalam rungan kelas yang terpisah dengan putri. Suasana belajar berjalan lebih enjoy dan fokus,” kata Nur Khamid, seorang siswa kelas XII MA Unggulan Ulumiyyah. (Makruf-Red)

Pemisahan Ruang Belajar Putra dan Putri, antara Keharusan dan Pilihan

Moh Yusron, M. Pd. I
Oleh : Ahmad Yusron, M. Pd. I

Al-Ittihad - MA Unggulan Ulumiyyah yang kini berusia dua tahun lebih, terus berbenah untuk menjadi lembaga pendidikan yang patut dilirik oleh masyarakat berdasarkan kualitas. Kualitas tersebut meliputi prestasi maupun sistem penyelenggaraan pendidikannya. Slow but sure (pelan tapi pasti), barangkali itulah semboyan yang sesuai untuk menggambarkan usaha Ulumiyyah meningkatkan kemajuannya.

Pengasuh Ponpes Nahdlatut Tholibin al-Islamiyyin (lebaga yang berada satu yayasan dengan MA Unggulan Ulumiyyah) KH. Fathurrahman pernah menuturkan, lembaga pendidikan Ulumiyyah adalah pondok pesantren yang terdapat sekolah formal di dalamnya. Bukan sekolah formal yang punya pondok pesantren.

Apabila dicermati, makna  pernyataan tersebut sangat mendalam. Lembaga pendidikan yang terletak di Desa Kebonharjo ini dulunya pondok pesantren salafiyyah. Lambat laun agar mampu mengikuti perkembangan zaman, didirikan lembaga pendidikan Madrasah Ibtidaiyyah (MI), Madrasah Tsanawiyyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) Ulumiyyah Unggulan. Tentunya, bukan perkara mudah untuk mewujudkan bangunan-bangunan tempat tarbiyyah para santri tersebut. Awal mula MA ada, bangunannya masih menginduk dengan bangunan MTs. Itu pun ruang kelas masih ditempati siswa putra dan putri, campur dalam satu ruang tanpa ada satir (penghalang).

Sebuah lembaga yang awal mulanya berbais pesantren tentu menginginkan sistem pendidikannya berpegang teguh pada tatanan syari’at Islam dan mengibarkan panji-panji keislaman di dalamnya. Untuk itu, yang awalnya ruang kelas XI dan X masih dicampur putra dan putri, sekarang sudah mulai dipisah. Salah satu langkahnya dengan mendirikan kelas-kelas berbentuk gazebo.

Pada sekolah umum, fenomena kelas campuran antara putra dan putri wajar dilaksanakan. Namun berbeda halnya dengan di Ulumiyyah yang notabene lembaga formal berbasis pesantren. Ulumiyyah harus mengedepankan etika pendidikan Islam. Sistem pendidikan Islam berbeda dengan sistem pendidikan umum, dalam kaitannya pelaksanaan prinsip berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan teladan salaf as-shalihin.

Pemisahan antara siswa dan siswi merupakan prinsip dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Ada dua cara pemisahan siswa putra dan putrid. Pertama, dipisah dengan ruangan kelas yang berbeda dan kedua dipisah hanya menggunakan satir berupa kain atau papan. Jika dipisah dengan satir, tentunya harus dibuatkan akses jalan yang berbeda antara para siswa dan siswa. Sehingga paling utama adalah dipisah di ruang kelas yang berbeda.

Dalam hukum fikih disebutkan, Ikhthilat baina an-nisa’ wa ar-rijal (bercampurnya orang laki-laki dan perempuan) adalah awal dari timbulnya fitnah. Itulah mengapa dalam urusan shalat berjama’ah, shaf (barisan) antara laki-laki dan perempuan dibedakan dengan maksud untuk menghindari adanya ikhthilat.

Dikisahkan dalam hadis, saat Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam membangun sebuah masjid, dan membuat sebuah pintu yang diperuntukkan untuk perempuan dan beliau bersabda : “Seorang laki-laki pun tidak boleh memasuki pintu ini”. (HR. Abu Dawud)

Hadis ini dijadikan dasar hukum oleh para ulama ahli fiqih tentang larangan berbaurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahram di dalam masjid karena berakibat pada kerusakan. Begitu halnya dengan hukum larangan berbaurnya laki-laki dan perempuan dalam keperluan mencari ilmu. Sayyidatina ‘Aisyah Radliyallahu ‘anha ketika menyampaikan hadis kepada jamaah muslimin, selalu berada di belakang satir. Hal ini mempertegas bahwa pola pembelajaran Islami harus mencerminkan pengamalan syari’at Islam. Boleh saja kita mengadopsi pola pembelajaran modern dari Barat, asalkan tidak bertentangan dengan rambu-rambu ajaran Islam.

Hisham Attalib, dkk dalam bukunya Parent –Child Relations: A Guide to Raising Children memaparkan panjang lebar tentang pentingnya memisahkan anak laki-laki dan anak perempuan di kelas. Hal itu dianggap sangat bermanfaat untuk pendidikan maupun proses belajar mereka.

Lalu, sejak kapan anak-anak sebaiknya dipisah berdasarkan jenis kelaminnya saat melakukan proses belajar?. Hisyam Ath-Thalib, dkk, merekomendasikan agar pemisahan itu dimulai semenjak kelas 4 Sekolah Dasar (SD). Mereka bisa tetap berada dalam satu sekolah yang sama, tetapi ruang kelasnya berbeda. Pada waktu-waktu tertentu, dapat saja ada kegiatan bersama yang melibatkan anak laki-laki maupun perempuan, tetapi secara prinsip mereka dipisahkan ruang kelasnya.

Ternyata pada akhir-akhir ini prinsip pemisahan kelas, mampu dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan atas nama The Good School Guide. Penelitian itu berhasil menemukan fakta bahwa sebagian besar dari 71.286 penemuan yang mengikuti program sekolah menengah (The General Certificate Secondary) di sekolah sesama perempuan antara tahun 2005 dan 2007 lebih baik hasilnya. Sementara itu, lebih dari 647.942 perempuan yang ikut ujian di sekolah campuran (pria/wanita) 20% lebih buruk dari pada yang diharapkan.

Ada sebuah pernyataan yang dari Syaikh Zainuddin al-Malibari, “Melihat (ke lain jenis) adalah anak panah yang dilumuri racun”. Sehingga ketika mata sudah teracuni oleh obyek yang dilihat (lawan jenis), kemudian racun tersebut turun ke hati dan menjadikan hati sulit melepaskan pengaruh tersebut. Hati yang menjadi jalan masuknya ilmu, harus dihindarkan dari pengaruh-pengaruh buruk tersebut agar pancaran ilmu menerangi hati kita.

Dari semua pandangan dan rujukan tentang pokok bahasan di atas, sedikit mengerucut sebuah kesimpulan bahwa pemisahan ruang belajar antara siswa putra dan putri pada konteksnya bukan sekedar pilihan. Hal itu adalah keharusan yang harus diusahakan berdasarkan hadist, kajian fiqh, fatwa ulama’ maupun penelitian ilmiah. Allahu a’lam.

*) Alumnus Pendidikan Agama Islam (PAI) STAIN Kudus, saat ini mengajar di MA Unggulan Ulumiyyah dan Universitas Islam Darul Ulum (Unisda) Lamongan.

Sabtu, 01 Oktober 2016

Keren, Ponpes NTI Kembangkan Biogas Berbahan Tinja Santri

BIOGAS RAMAH LINGKUNGAN : Ponpes NTI Kebonharjo Jatirogo sudah mulai menggunakan biogas berbahan tinja untuk keperluan memasak ratusan santri putra dan putri di sana.

Al-Ittihad, edisi 5 - Pondok Pesantren (Ponpes) Nahdlotut Tholibin al-Islamiyyin (Ponpes NTI) Kebonharjo Jatirogo di tahun 2016 ini mulai mengembangkan biogas untuk pertama kalinya. Program tersebut mulai dijalankan di Ponpes NTI pada Ramadan 2016 lalu dan hingga kini menjadi penopang utama kebutuhan logistik santri di sana.

Uniknya, biogas tersebut tidak menggunakan bahan baku dari kotoran hewan. Cukup ekstrim, ternyata bahan baku dari biogas untuk memasak semua kebutuhan makan santri itu berasal dari tinja santri sendiri.

Menurut pengasuh Ponpes NTI, KH Achmad Alam Farid, penggunaan biogas berbahan tinja santri ini merupakan hasil studi banding di Ponpes Dadapan, Desa Dadapan Kecamatan Sedan Kabupaten Rembang.

Berawal dari hal itu, akhirnya pengurus Ponpes NTI bersepakat untuk mengembangkan biogas yang dikenal ramah lingkungan itu. Butuh dana hingga Rp 27 juta untuk bisa membuat biogas berbahan tinja untuk kebutuhan ratusan santri.

“Awalnya pembuatan biogas dengan bahan baku tinja ini terkendala dengan minimnya dana. Selain itu, tenaga untuk proses pengerjaannya juga sulit didapat. Namun, akhirnya demi kebutuhan santri sendiri, biogas bisa digunakan hingga sekarang,” jelas pengasuh yang akrab disapa Gus Mad ini.

Seorang santri Ponpes NTI, Alvina Nadhirotun mengatakan, penggunaan biogas berbahan tinja ini terbukti mampu menekan biaya kebutuhan makan santri. Sehingga, anggaran yang awalnya untuk kebutuhan elpiji, saat ini bisa dialihkan santri di bidang lainnya.

Selain itu, proses memasak menggunakan biogas berbahan tinja ini juga diyakini berjalan lebih cepat. Kondisi itu mendukung mobilitas santri yang setiap hari memiliki jadwal kegiatan yang sangat padat.

“Biogas juga dapat meringankan tenaga kerja memasak. Awalnya, proses masak cukup lambat menjadi lebih cepat. Seperti memasak nasi yang awalnya membutuhkan waktu 3 jam menjadi hanya 1 jam saja,” ujar Alvina.

Selama ini, tidak ada dampak negatif terkait penggunaan biogas berbahan baku tinja. Aroma perapian yang ditimbulkan dari kompor juga tidak menimbulkan dampak berupa bau menyengat. Selain itu, aspek keamanan sejauh ini juga terjamin dan tidak menimbulkan dampak bahaya. (Ima/Vivin/Isma-MTs/Red)