Sabtu, 08 Oktober 2016

Pemisahan Ruang Belajar Putra dan Putri, antara Keharusan dan Pilihan

Moh Yusron, M. Pd. I
Oleh : Ahmad Yusron, M. Pd. I

Al-Ittihad - MA Unggulan Ulumiyyah yang kini berusia dua tahun lebih, terus berbenah untuk menjadi lembaga pendidikan yang patut dilirik oleh masyarakat berdasarkan kualitas. Kualitas tersebut meliputi prestasi maupun sistem penyelenggaraan pendidikannya. Slow but sure (pelan tapi pasti), barangkali itulah semboyan yang sesuai untuk menggambarkan usaha Ulumiyyah meningkatkan kemajuannya.

Pengasuh Ponpes Nahdlatut Tholibin al-Islamiyyin (lebaga yang berada satu yayasan dengan MA Unggulan Ulumiyyah) KH. Fathurrahman pernah menuturkan, lembaga pendidikan Ulumiyyah adalah pondok pesantren yang terdapat sekolah formal di dalamnya. Bukan sekolah formal yang punya pondok pesantren.

Apabila dicermati, makna  pernyataan tersebut sangat mendalam. Lembaga pendidikan yang terletak di Desa Kebonharjo ini dulunya pondok pesantren salafiyyah. Lambat laun agar mampu mengikuti perkembangan zaman, didirikan lembaga pendidikan Madrasah Ibtidaiyyah (MI), Madrasah Tsanawiyyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) Ulumiyyah Unggulan. Tentunya, bukan perkara mudah untuk mewujudkan bangunan-bangunan tempat tarbiyyah para santri tersebut. Awal mula MA ada, bangunannya masih menginduk dengan bangunan MTs. Itu pun ruang kelas masih ditempati siswa putra dan putri, campur dalam satu ruang tanpa ada satir (penghalang).

Sebuah lembaga yang awal mulanya berbais pesantren tentu menginginkan sistem pendidikannya berpegang teguh pada tatanan syari’at Islam dan mengibarkan panji-panji keislaman di dalamnya. Untuk itu, yang awalnya ruang kelas XI dan X masih dicampur putra dan putri, sekarang sudah mulai dipisah. Salah satu langkahnya dengan mendirikan kelas-kelas berbentuk gazebo.

Pada sekolah umum, fenomena kelas campuran antara putra dan putri wajar dilaksanakan. Namun berbeda halnya dengan di Ulumiyyah yang notabene lembaga formal berbasis pesantren. Ulumiyyah harus mengedepankan etika pendidikan Islam. Sistem pendidikan Islam berbeda dengan sistem pendidikan umum, dalam kaitannya pelaksanaan prinsip berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan teladan salaf as-shalihin.

Pemisahan antara siswa dan siswi merupakan prinsip dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Ada dua cara pemisahan siswa putra dan putrid. Pertama, dipisah dengan ruangan kelas yang berbeda dan kedua dipisah hanya menggunakan satir berupa kain atau papan. Jika dipisah dengan satir, tentunya harus dibuatkan akses jalan yang berbeda antara para siswa dan siswa. Sehingga paling utama adalah dipisah di ruang kelas yang berbeda.

Dalam hukum fikih disebutkan, Ikhthilat baina an-nisa’ wa ar-rijal (bercampurnya orang laki-laki dan perempuan) adalah awal dari timbulnya fitnah. Itulah mengapa dalam urusan shalat berjama’ah, shaf (barisan) antara laki-laki dan perempuan dibedakan dengan maksud untuk menghindari adanya ikhthilat.

Dikisahkan dalam hadis, saat Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam membangun sebuah masjid, dan membuat sebuah pintu yang diperuntukkan untuk perempuan dan beliau bersabda : “Seorang laki-laki pun tidak boleh memasuki pintu ini”. (HR. Abu Dawud)

Hadis ini dijadikan dasar hukum oleh para ulama ahli fiqih tentang larangan berbaurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahram di dalam masjid karena berakibat pada kerusakan. Begitu halnya dengan hukum larangan berbaurnya laki-laki dan perempuan dalam keperluan mencari ilmu. Sayyidatina ‘Aisyah Radliyallahu ‘anha ketika menyampaikan hadis kepada jamaah muslimin, selalu berada di belakang satir. Hal ini mempertegas bahwa pola pembelajaran Islami harus mencerminkan pengamalan syari’at Islam. Boleh saja kita mengadopsi pola pembelajaran modern dari Barat, asalkan tidak bertentangan dengan rambu-rambu ajaran Islam.

Hisham Attalib, dkk dalam bukunya Parent –Child Relations: A Guide to Raising Children memaparkan panjang lebar tentang pentingnya memisahkan anak laki-laki dan anak perempuan di kelas. Hal itu dianggap sangat bermanfaat untuk pendidikan maupun proses belajar mereka.

Lalu, sejak kapan anak-anak sebaiknya dipisah berdasarkan jenis kelaminnya saat melakukan proses belajar?. Hisyam Ath-Thalib, dkk, merekomendasikan agar pemisahan itu dimulai semenjak kelas 4 Sekolah Dasar (SD). Mereka bisa tetap berada dalam satu sekolah yang sama, tetapi ruang kelasnya berbeda. Pada waktu-waktu tertentu, dapat saja ada kegiatan bersama yang melibatkan anak laki-laki maupun perempuan, tetapi secara prinsip mereka dipisahkan ruang kelasnya.

Ternyata pada akhir-akhir ini prinsip pemisahan kelas, mampu dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan atas nama The Good School Guide. Penelitian itu berhasil menemukan fakta bahwa sebagian besar dari 71.286 penemuan yang mengikuti program sekolah menengah (The General Certificate Secondary) di sekolah sesama perempuan antara tahun 2005 dan 2007 lebih baik hasilnya. Sementara itu, lebih dari 647.942 perempuan yang ikut ujian di sekolah campuran (pria/wanita) 20% lebih buruk dari pada yang diharapkan.

Ada sebuah pernyataan yang dari Syaikh Zainuddin al-Malibari, “Melihat (ke lain jenis) adalah anak panah yang dilumuri racun”. Sehingga ketika mata sudah teracuni oleh obyek yang dilihat (lawan jenis), kemudian racun tersebut turun ke hati dan menjadikan hati sulit melepaskan pengaruh tersebut. Hati yang menjadi jalan masuknya ilmu, harus dihindarkan dari pengaruh-pengaruh buruk tersebut agar pancaran ilmu menerangi hati kita.

Dari semua pandangan dan rujukan tentang pokok bahasan di atas, sedikit mengerucut sebuah kesimpulan bahwa pemisahan ruang belajar antara siswa putra dan putri pada konteksnya bukan sekedar pilihan. Hal itu adalah keharusan yang harus diusahakan berdasarkan hadist, kajian fiqh, fatwa ulama’ maupun penelitian ilmiah. Allahu a’lam.

*) Alumnus Pendidikan Agama Islam (PAI) STAIN Kudus, saat ini mengajar di MA Unggulan Ulumiyyah dan Universitas Islam Darul Ulum (Unisda) Lamongan.

3 komentar:

  1. Maturauwun tlh menerbitkan tulisan ala kadarnya ni semoga bermanfaat..

    BalasHapus
  2. Maturauwun tlh menerbitkan tulisan ala kadarnya ni semoga bermanfaat..

    BalasHapus
  3. betul sekali bukti sudah menunjukkan pada pendidikan Kepramukaan selalu menggunakan satuan terpisah.....akan kami terapkan pada sekolah kami...suwun lebih memperkuat niat kami untuk melakukan sistem satuan terpisah pada sekolah kami

    BalasHapus