 |
POSE KEAKRABAN : Ketua STAI Al-Anwar Sarang, KH Dr Abdul Ghofur Maimun berpose penuh keakraban dengan dua wartawan Al-Ittihad, setelah seusai wawancara, Minggu, 4 Desember 2016. (Al-Ittihad) |
Belakangan, banyak pesantren yang mendirikan lembaga pendidikan formal, semisal MI, MTs atau MA untuk santri mereka. Lembaga formal tersebut sengaja didirikan untuk memfasilitasi kebutuhan pendidikan di bidang umum para santri. Sebab, pada kenyataannya banyak pesantren yang kehilangan santrinya lantaran tidak memiliki lembaga formal di dalamnya.
Hal itu sedikit banyak merubah model pembelajaran yang terjadi di dalam pesantren, termasuk pesantren salaf. Bagaimana sebenarnya kira-kira gambaran pesanten yang ideal di era kini. Berikut perbincangan wartawan Majalah Al-Ittihad, Abdul Matin dan Achmad Makruf dengan Ketua STAI Al-Anwar Sarang sekaligus putra KH Maimun Zubaer, KH Dr Abdul Ghofur Maimun, Minggu 4 Desember 2016.
Al-Ittihad : Bagaimana gambaran mengenai pesantren ideal masa kini?
Gus Ghofur : Pesantren itu yang penting ada yang namanya transfer spiritual, setelah itu ada transfer ilmu. Ada juga beberapa komponen lainnya yaitu kyai, asrama, masjid, lalu ada pembelajaran tentang ilmu kepesantrenan. Kalau mau yang ideal semua itu harus ideal, kyainya harus ideal, pembelajarannya, suasana pondoknya juga harus ideal. Itu yang harus ada di pondok dan tidak bisa dihilangkan. Setelah itu baru kita bicara mengenai apa yang dibutuhkan masyarakat, yaitu sumber pendidikan itu harus ada di pesantren. Apa yang dibutuhkan masyarakat itu yang dipenuhi misal tentang pertanian, pemerintahan, ya harus dipenuhi lalu diolah dalam sistem pesantren. Kalau semua itu tidak ada, namanya bukan pondok pesantren tapi asrama.
Al-Ittihad : Kyai harus ideal, pembelajaran harus ideal, kondisi bagaimana yang disebut ideal?
Gus Ghofur : Gini, orang menjadi itu baik bukan karena dia baik. Orang baik itu karena suasananya baik, maka dia menjadi baik. Dulu itu gampang, sekali kalau orang tidak mau melakukan shalat, ingin shalat gampang sekali, masukkan di pondok pesantren maka ia dengan sendirinya akan sholat. Bukan karena ia suka sholat, tetapi karena lingkungannya mengajaknya sholat. Saya pingin punya anak yang bisa ngaji, ya sudah letakan saja pada lingkungan ngaji, maka dengan sendirinya dia akan ngaji. Pesantren harus menciptakan orang baik, dikelola yang baik maka situasinya akan menjadi ideal. Kalau nggak diopeni santrinya dibiarkan tidak diperhatikan maka itu namanya nggak pondok pesantren ideal. Punya kyai yang ideal ya komponen-komponen itu diidealkan. Kyai yang ideal itu kyai yang dipandang baik oleh santri. Kira-kira kyainya ya harus begitu, harus bisa menampilkan apa yang mejadi cita-cita pondok pesantren. Pesantren menginginkan santrinya beribadah dengan rajin, ya kyainya harus beribadah dengan rajin. Fokusnya itu di kyai. Setiap hari yang dilihat oleh santri itu ya kyainya. Sehingga, dalam santri tidak ada yang disebut mantan santri, itu karena sudah tersedot oleh spiritualnya kyai.
Al-Ittihad : Saat ini banyak istilah-istilah yang muncul mengenai pesantren, seperti pesantren salaf, pesantren modern atau pesantren semimodern. Lalu Apa perbedaan antara pondok salaf dan modern gus?
Gus Ghofur : Yang penting itu sepiritualnya dulu, lalu setelah itu dijaga agar semuanya baik. Maka perbedaan-perbedaan itu akan tidak ada lagi karena spiritnya pondok pesantren sudah ada. Sistem yang menjadi pembeda salaf itu pendidikannya tradisional, karena mengkhususkan diri untuk pendidikan pada ilmu agama, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Karena pada kenyataannya pendidikan modern terlalu banyak kurikulum yang mengikuti Kemenag dan macem-macem. Namanya kan menjadi tidak jelas dan tidak fokus. Karena yang satunya mengonsentrasikan pada kitab-kitab kuning yang seperti ini. Hubungan antara murid dengan kyai pada pesantren salaf memang benar-benar terjalin dengan spiritual. Kalau disebut modern tetapi masih menjaga tradisi-tradisi salaf, maka bisa disebut salaf meski tampak modern. Yang penting spiritualnya saja dijaga, tidak hanya sekedar transfer ilmu saja.
Al-Itihad : Untuk menghadapi tantangan globalisasi, kira-kira lebih efektif mana peran di antara keduanya, salaf atau modern?
Gus Ghofur : Itu tidak peran. Globalisasi itu artinya dunia menjadi menyempit antara yang baik dan yang jelek menjadi dekat. Kalau dulu orang bisa dibatasi oleh sesuatu hal sehingga orang hanya bisa mengenal lingkungan yang baik atau yang jelek. Karena sekarang ini dunia menyempit, semuanya mendekat. Dalam satu waktu orang itu dekat dengan kebaikan sekaligus dekat dengan kejelekan. Dulu kalau orang diletakan di pondok pesantren dekat dengan dengan kebaikan dan jauh dengan kejelekan. Kalau sekarang ini meski di pondok tapi keimananya tidak kuat maka juga akan melakukan kejelekan. Karena semua itu mendekat. Batas-batas itu menjadi susah. Globalisasi juga berarti yang modern mendekat ke salaf yang salaf mendekat ke modern. Orang membuka google sekaligus ia dekat dengan kebaikan dan kejelekan. Orang punya televisi juga sama membuka jendela kebaikan dan keburukan, semua ada kebaikan dan kejelekan. Namanya globalisasi, terkadang orang yang belajar di pesantren modern menjadi pengasuh di pesantren salaf, begitu juga sebaliknya. Sejatinya batas itu berada pada dalam diri masing-masing. Mana yang efektif? semua efektif. Punya tugas masing-masing. Yang penting ya itu tadi, terus dijaga spiritualitasnya, kebutuhan masyarakat itu apa, dipenuhi.
Al-Ittihad : Sebagian kalangan pesantren masih menganggap bahwa santri itu tidak boleh mengakses produk perkembangan zaman, seperti tablet atau internet, sehingga dibilang katrok. Sejatinya, boleh tidak santri dikenalkan produk perkembangan zaman itu?
Gus Ghofur : Semakin canggih barang yang kita miliki, maka godaannya akan semakin tinggi. Maka kita jangan menggunakan yang canggih-canggih kalau mentalnya tidak kuat. Sepeda motor jika kapasitas mesinnya semakin tinggi, maka keinginan untuk ngebut juga semakin tinggi. Kalau belum bisa mengendalikannya, sebaiknya jangan pakai itu. Gunakan yang sesuai dengan kebutuhan. Kalau dia sudah mampu untuk mengendalikan diri, mau pakai ya tidak masalah. Ini bukan katrok, karena tidak disarankan untuk santri membawa ponsel yang canggih-canggih. Google itu bisa membuka apa saja. Jadi perlu adanya pengawasan. Kalau disebut katrok ya tidak masalah. Kalau katrok itu dalam arti negatif baru masalah. Tapi kalau itu katrok dalam arti posisif tidak masalah.
Al-Ittihad : Apakah pesantren perlu menyesuaikan kurikulum milik pemerintah atau membuatnya sendiri sesuai kebutuhan?
Gus Ghofur : Sebenarnya pondok tidak mewajibkan untuk menggunakan buku-buku yang dibuat pemerintah, hanya beberapa saja. Kalau bisa menciptakan (kurikulum) sendiri sesuai dengan yang dibutuhkan, saya kira itu lebih baik karena kebutuhannya bebeda. Sudah disindir berkali-kali soal itu, kurikulum itu tidak bisa disamakan. Kurikulum kok sama dengan yang di bawah (desa). Gurunya saja berbeda, muridnya bebeda, kepentingannya berbeda kok bisa sama itu bagaimana. Ya kalau sama tidak masalah, tapi harus ada modifikasi-modifikasi sedikit. Tidak bisa disamakan antara yang paling atas sampai yang paling bawah. Itu tidak adil sekali. Orang Jatirogo kok yang bikin kurikulum orang Jakarta. Itu tidak salah sekolah tapi salah pemerintah. Kalau mau menyeragamkan kurikulum maka gurunya harus seragam, kemampuan murid juga harus seragam. Kebutuhan santri salaf dengan modern juga bebeda. Kalau salaf mempelajari kitab kuning, tidak ilmu fisika, kimia dan lainnya. Yang penting kebutuhannya apa disesuaikan, tujuannya apa disesuaikan. Jangan pernah dihilangkan tentang spiritualnya. Takdzim pada guru, ngaji, bersilaturahmi dan hal-hal yang menjadi pokok dalam pesantren jangan sampai dihilangkan. Jangan menciptakan keseragaman, dunia ini tidak bisa diseragamkan.
Al-Ittihad : Perlukah pondok pesantren mendirikan universitas?
Gus Ghofur : Universitas itu salah satu kebutuhan masyarakat. Kalau memang pesantren mampu melaksanakan itu atau mampu mensuport universitasnya, mendirikan ya tidak apa-apa.
(Tin/Ruf-Red)