Sabtu, 10 Desember 2016

Mahasiswa Al-Anwar Gandeng Dinas Pertanian Ajari Petani Tanggulangi Hama

POSE BERSAMA : Seluruh panitia dan nara sumber dan sebagian peserta acara penyuluhan hama berpose bersama setelah acara selesai dilaksanakan.

Al-Ittihad – Mahasiswa KKN STAI Al-Anwar Sarang, menggelar seminar pertanian yang bertajuk ‘Cara Mengatasi Permasalah Hama Pertanian, Rabu (7/12) lalu. Acara yang bertempat di Gedung Panti PKK Kebonharjo itu diikuti oleh puluhan petani desa setempat.

Dalam seminar tersebut hadir tim ahli Organisme Penganggu Tanaman (OPT) dari Dinas Pertanian Kabupaten Tuban yang dikoordinatori oleh Maman. Kepada petani ia mengungkapkan, pertanian awal mulanya mempunyai agroekosistem yang seimbang.

Tetapi kian lama agroekosistem ini menjadi tidak seimbang, karena para petani terlalu banyak meracuni tanah dengan menggunakan bahan-bahan kimia. Bahan kimia itu yang selama ini kerap dijadikan pilihan utama dalam menyuburkan tanaman.

“Bahan kimia memang menjadi andalan utama para petani mulai dulu sampai sekarang, Karena lebih efektif dan praktis. Tapi karena terlalu banyak menggunakan bahan kimia dalam pemupukan dan pembasmian hama,” jelas dia.

Dari kondisi itu, para petani mengalami banyak dampak negatif. Beberapa dampak negatif yang dirasakan adalah mulai rusaknya lapisan tanah, serta tanaman menjadi mudah terkena hama.

Dalam seminar tersebut Dinas Pertanian Kabupaten Tuban tidak hanya memberikan pengetahuan tentang cara mengatasi hama. Petani juga diberikan pemahaman tentang pemilihan obat yang tepat untuk membasmi hama.

Seminar menjadi lebih menarik lantaran petani yang hadir dalam acara tersebut memberikan respons dengan melontarkan sejumlah pertanyaan kepada nara sumber. “Acara seperti ini sangat berguna bagi warga Kebonharjo, khusunya petani agar dapat mengetahui cara-cara yang benar dalam mengatasi masalah pertanian,” imbuh seorang penyuluh pertanian Desa Kebonharjo, Dawam. (Red)

Minggu, 04 Desember 2016

Antara Pesantren Salaf, Modern dan Globalisasi

POSE KEAKRABAN : Ketua STAI Al-Anwar Sarang, KH Dr Abdul Ghofur Maimun berpose penuh keakraban dengan dua wartawan Al-Ittihad, setelah seusai wawancara, Minggu, 4 Desember 2016. (Al-Ittihad)
Belakangan, banyak pesantren yang mendirikan lembaga pendidikan formal, semisal MI, MTs atau MA untuk santri mereka. Lembaga formal tersebut sengaja didirikan untuk memfasilitasi kebutuhan pendidikan di bidang umum para santri. Sebab, pada kenyataannya banyak pesantren yang kehilangan santrinya lantaran tidak memiliki lembaga formal di dalamnya.

Hal itu sedikit banyak merubah model pembelajaran yang terjadi di dalam pesantren, termasuk pesantren salaf. Bagaimana sebenarnya kira-kira gambaran pesanten yang ideal di era kini. Berikut perbincangan wartawan Majalah Al-Ittihad, Abdul Matin dan Achmad Makruf dengan Ketua STAI Al-Anwar Sarang sekaligus putra KH Maimun Zubaer, KH Dr Abdul Ghofur Maimun, Minggu 4 Desember 2016.

Al-Ittihad : Bagaimana gambaran mengenai pesantren ideal masa kini?
Gus Ghofur : Pesantren itu yang penting ada yang namanya transfer spiritual, setelah itu ada transfer ilmu. Ada juga beberapa komponen lainnya yaitu kyai, asrama, masjid, lalu ada pembelajaran tentang ilmu kepesantrenan. Kalau mau yang ideal semua itu harus ideal, kyainya harus ideal, pembelajarannya, suasana pondoknya juga harus ideal. Itu yang harus ada di pondok dan tidak bisa dihilangkan. Setelah itu baru kita bicara mengenai apa yang dibutuhkan masyarakat, yaitu sumber pendidikan itu harus ada di pesantren. Apa yang dibutuhkan masyarakat itu yang dipenuhi misal tentang pertanian, pemerintahan, ya harus dipenuhi lalu diolah dalam sistem pesantren. Kalau semua itu tidak ada, namanya bukan pondok pesantren tapi asrama.
Al-Ittihad : Kyai harus ideal, pembelajaran harus ideal, kondisi bagaimana yang disebut ideal?
Gus Ghofur : Gini, orang menjadi itu baik bukan karena dia baik. Orang baik itu karena suasananya baik, maka dia menjadi baik. Dulu itu gampang, sekali kalau orang tidak mau melakukan shalat, ingin shalat gampang sekali, masukkan di pondok pesantren maka ia dengan sendirinya akan sholat. Bukan karena ia suka sholat, tetapi karena lingkungannya mengajaknya sholat. Saya pingin punya anak yang bisa ngaji, ya sudah letakan saja pada lingkungan ngaji, maka dengan sendirinya dia akan ngaji. Pesantren harus menciptakan orang baik, dikelola yang baik maka situasinya akan menjadi ideal. Kalau nggak diopeni santrinya dibiarkan tidak diperhatikan maka itu namanya nggak pondok pesantren ideal. Punya kyai yang ideal ya komponen-komponen itu diidealkan. Kyai yang ideal itu kyai yang dipandang baik oleh santri. Kira-kira kyainya ya harus begitu, harus bisa menampilkan apa yang mejadi cita-cita pondok pesantren. Pesantren menginginkan santrinya beribadah dengan rajin, ya kyainya harus beribadah dengan rajin. Fokusnya itu di kyai. Setiap hari yang dilihat oleh santri itu ya kyainya. Sehingga, dalam santri tidak ada yang disebut mantan santri, itu karena sudah tersedot oleh spiritualnya kyai.
Al-Ittihad : Saat ini banyak istilah-istilah yang muncul mengenai pesantren, seperti pesantren salaf, pesantren modern atau pesantren semimodern. Lalu Apa perbedaan antara pondok salaf dan modern gus?
Gus Ghofur : Yang penting itu sepiritualnya dulu, lalu setelah itu dijaga agar semuanya baik. Maka perbedaan-perbedaan itu akan tidak ada lagi karena spiritnya pondok pesantren sudah ada. Sistem yang menjadi pembeda salaf itu pendidikannya tradisional, karena mengkhususkan diri untuk pendidikan pada ilmu agama, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Karena pada kenyataannya pendidikan modern terlalu banyak kurikulum yang mengikuti Kemenag dan macem-macem. Namanya kan menjadi tidak jelas dan tidak fokus. Karena yang satunya mengonsentrasikan pada kitab-kitab kuning yang seperti ini. Hubungan antara murid dengan kyai pada pesantren salaf memang benar-benar terjalin dengan spiritual. Kalau disebut modern tetapi masih menjaga tradisi-tradisi salaf, maka bisa disebut salaf meski tampak modern. Yang penting spiritualnya saja dijaga, tidak hanya sekedar transfer ilmu saja.
Al-Itihad : Untuk menghadapi tantangan globalisasi, kira-kira lebih efektif mana peran di antara keduanya, salaf atau modern?
Gus Ghofur : Itu tidak peran. Globalisasi itu artinya dunia menjadi menyempit antara yang baik dan yang jelek menjadi dekat. Kalau dulu orang bisa dibatasi oleh sesuatu hal sehingga orang hanya bisa mengenal lingkungan yang baik atau yang jelek. Karena sekarang ini dunia menyempit, semuanya mendekat. Dalam satu waktu orang itu dekat dengan kebaikan sekaligus dekat dengan kejelekan. Dulu kalau orang diletakan di pondok pesantren dekat dengan dengan kebaikan dan jauh dengan kejelekan. Kalau sekarang ini meski di pondok tapi keimananya tidak kuat maka juga akan melakukan kejelekan. Karena semua itu mendekat. Batas-batas itu menjadi susah. Globalisasi juga berarti yang modern mendekat ke salaf yang salaf mendekat ke modern. Orang membuka google sekaligus ia dekat dengan kebaikan dan kejelekan. Orang punya televisi juga sama membuka jendela kebaikan dan keburukan, semua ada kebaikan dan kejelekan. Namanya globalisasi, terkadang orang yang belajar di pesantren modern menjadi pengasuh di pesantren salaf, begitu juga sebaliknya. Sejatinya batas itu berada pada dalam diri masing-masing. Mana yang efektif? semua efektif. Punya tugas masing-masing. Yang penting ya itu tadi, terus dijaga spiritualitasnya, kebutuhan masyarakat itu apa, dipenuhi.
Al-Ittihad : Sebagian kalangan pesantren masih menganggap bahwa santri itu tidak boleh mengakses produk perkembangan zaman, seperti tablet atau internet, sehingga dibilang katrok. Sejatinya, boleh tidak santri dikenalkan produk perkembangan zaman itu?
Gus Ghofur : Semakin canggih barang yang kita miliki, maka godaannya akan semakin tinggi. Maka kita jangan menggunakan yang canggih-canggih kalau mentalnya tidak kuat. Sepeda motor jika kapasitas mesinnya semakin tinggi, maka keinginan untuk ngebut juga semakin tinggi. Kalau belum bisa mengendalikannya, sebaiknya jangan pakai itu. Gunakan yang sesuai dengan kebutuhan. Kalau dia sudah mampu untuk mengendalikan diri, mau pakai ya tidak masalah. Ini bukan katrok, karena tidak disarankan untuk santri membawa ponsel yang canggih-canggih. Google itu bisa membuka apa saja. Jadi perlu adanya pengawasan. Kalau disebut katrok ya tidak masalah. Kalau katrok itu dalam arti negatif baru masalah. Tapi kalau itu katrok dalam arti posisif tidak masalah.
Al-Ittihad : Apakah pesantren perlu menyesuaikan kurikulum milik pemerintah atau membuatnya sendiri sesuai kebutuhan?
Gus Ghofur : Sebenarnya pondok tidak mewajibkan untuk menggunakan buku-buku yang dibuat pemerintah, hanya beberapa saja. Kalau bisa menciptakan (kurikulum) sendiri sesuai dengan yang dibutuhkan, saya kira itu lebih baik karena kebutuhannya bebeda. Sudah disindir berkali-kali soal itu, kurikulum itu tidak bisa disamakan. Kurikulum kok sama dengan yang di bawah (desa). Gurunya saja berbeda, muridnya bebeda, kepentingannya berbeda kok bisa sama itu bagaimana. Ya kalau sama tidak masalah, tapi harus ada modifikasi-modifikasi sedikit. Tidak bisa disamakan antara yang paling atas sampai yang paling bawah. Itu tidak adil sekali. Orang Jatirogo kok yang bikin kurikulum orang Jakarta. Itu tidak salah sekolah tapi salah pemerintah. Kalau mau menyeragamkan kurikulum maka gurunya harus seragam, kemampuan murid juga harus seragam. Kebutuhan santri salaf dengan modern juga bebeda. Kalau salaf mempelajari kitab kuning, tidak ilmu fisika, kimia dan lainnya. Yang penting kebutuhannya apa disesuaikan, tujuannya apa disesuaikan. Jangan pernah dihilangkan tentang spiritualnya. Takdzim pada guru, ngaji, bersilaturahmi dan hal-hal yang menjadi pokok dalam pesantren jangan sampai dihilangkan. Jangan menciptakan keseragaman, dunia ini tidak bisa diseragamkan.
Al-Ittihad : Perlukah pondok pesantren mendirikan universitas?
Gus Ghofur : Universitas itu salah satu kebutuhan masyarakat. Kalau memang pesantren mampu melaksanakan itu atau mampu mensuport universitasnya, mendirikan ya tidak apa-apa. (Tin/Ruf-Red)

Sabtu, 03 Desember 2016

Ulumiyyah Gandeng UWKS Terapkan K-13

PELATIHAN K-13, Pembukaan pelatihan Kurikulum 2013 (K-13) dengan pembicara tim dari UWKS di  Ulumiyyah (Al-Ittihad)

Al-Ittihad, edisi 5 – Yayasan Ponpes Al-Barmawy menggandeng Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS) dalam penerapan Kurikumum 2013 (K-13). salah satu wujudnya adalah menggelar pelatihan bagi pengajar di MTs dan MA Unggulan Ulumiyyah. Pelatihan digelar dua kali, Mei 2016 dan yang terakhir 3 Desember 2016 bertempat di aula MTs dan MA Unggulan Ulumiyyah.

Dalam dua kali pelatihan tersebut, diajarkan bagaimana menerapkan konsep K-13 dalam dunia pembelajaran. Pada latihan pertama, kalangan pengajar Ulumiyyah diajari berbagai hal terkait K-13, semisal pembuatan RPP, silabus serta metode pembelajaran.

Sedangkan pada pelatihan yang terakhir pada Desember 2016, kalangan pengajar Ulumiyyah dibekali bagaimana melakukan evaluasi pembelajaran. Guru juga dilatih untuk memberikan penilaian seobyektif mungkin berdasarkan K-13.

Kepala MTs Ulumiyyah, Dr H Kaswadi, M. Hum yang juga merupakan pengajar di UWKS mengatakan, pelatihan penerapan K-13 merupakan hal penting bagi setiap madrasah atau sekolah. Sebab, kurikulum ini merupakan pilihan yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah.

Menurutnya, pemahaman pengajar mengenai kurikulum harus selalu terupdate sesuai dengan kondisi di lapangan. Sehingga, saat melaksanakan pembelajara di kelas guru akan mampu menciptakan sesuatu yang baru dan menyenangkan bagi peserta didiknya.

“Ibarat berjualan, guru itu harus kulakan setiap hal yang baru. Sehingga yang dijual juga akan selalu baru. Pelatihan seperti ini ibaratnya adalah kulakan guru. Dengan mengkikuti pelatihan, maka saat mengajar atau mempraktikan ilmu di madrasah guru akan selalu menawarkan hal yang baru,” jelasnya.

Dekan Fakultas Bahasan dan Sains UWKS Dr Fransiska Dewi saat menyampaikan materi mengatakan, dalam pelaksanaan K-13 penilaian oleh guru tidak bisa dilakukan di akhir pembelajaran saja.

“Penilaian terhadap peserta didik harus dilakukan menyeluruh. Bukan hanya di akhir pembelajaran saja, tapi juga harus melihat proses peseta didik mulai awal dan pertengahan pembelajaran,” terang dia.

Ia juga menyampaikan, pembelajaran K-13 di era modern seperti saat ini guru juga harus mampu secara bijak mengembangkan potensinya. Sebab, di era yang serba digital banyak siswa yang memiliki daya kritis sehingga sudah banyak mengetahui materi sebelum diajarkan oleh gurunya.

“Jika guru tidak ikut mengupdate materi tersebut bisa saja dalam kelas mereka berpotensi tertinggal pengetahuan dari muridnya sendiri,” ujarnya.

Dalam pelatihan yang digelar selama setengah hari itu mayoritas pengajar di MTs dan MA Unggulan Ulumiyyah hadir. Hanya sebagian kecil yang tidak bisa mengikutinya karena berbagai alasan.

“Pelatihan ini penting dan bagus untuk pengembangan kurikulum di madrasah yang baru berkembang. Apalagi pematerinya adalah orang-orang yang memang memiliki keahlian di bidang itu,” kata seorang peserta dari MA Unggulan Ulumiyyah, Ustadz Suyatno. (Red)

Sabtu, 26 November 2016

Lima Landasan Kepemimpinan Amanah

Oleh: Novita Sari *)

Setiap insan pastinya memiliki prinsip hidup yang berbeda- beda untuk menggapai hal yang diinginkannya. Dalam kehidupan ini, banyak orang yang tanpa sadar telah menjadi seorang pemimpin. Pemimpin tidak harus mereka yang menempati jabatan Presiden, Bupati, atau pun Gubernur. Contoh kecil yang dapat kita saksikan antara lain, pemimpin dalam organisasi sekolah, pemimpin dalam sebuah perkantoran,dan masih banyak lagi.

Namun menjadi seorang pemimpin tidak semudah seperti yang dipikirkan. Menjadi pemimpin haru memiliki bekal. Berikut beberapa hal yang bisa menjadi bekal bagi seseorang agar bisa menjadi pemimpin yang amanah.
.                  
Pertama, berani dan teguh hatinya. Seorang pemimpin harus berani bertindak dan mengambil keputusan dengan benar dan bijaksana. Juga harus teguh hatinya, jangan mudah berputus asa atau menyerah untuk menggapai tujuan.

Kedua, tidak egois.  Jika seorang pemimpin bersikap egois, maka akan berantakan apapun yang dipimpinnya. Karena sikap keegoisan pemimpin akan membuat anggota dan masyarakat di bawahnya merasa tidak nyaman. Bisa jadi seorang pemimpin hanya memikirkan dirinya sendiri, seolah tidak memerlukan anggota dan masyarakat.

Ketiga, rela berkorban dan mengayomi. Seorang pemimpin harus memiliki hal ini pada dirinya. Ia harus rela berkorban baik kekuatan atau pun hartanya untuk rakyat serta anggotanya. Dan ia harus mampu mengayomi masyarakatnya. Membuat masyarakat merasa damai, tentram, dan nyaman dibawah pimpinannya.

Keempat, bertanggung jawab. Pemimpin yang baik adalah seseorang yang bertanggungjawab atas apa yang telah diputuskan, yang telah diucapkan dan hal apa pun yang telah dipertimbangkan untuk dilakukan.

Kelima, adil. Sikap adil seorang pemimpin pastinya dibutuhkan oleh anggota dan masyarakat yang dipimpinnya.  Pemimpin harus bersikap adil dalam mengemban tugasnya, serta tidak membeda–bedakan masyarakat dan anggotanya. Sehingga tidak ada rasa pilih kasih baik anggota ataupun masyarakat.

Mungkin lima hal tersebut tidak sepenuhnya menjadi landasan untuk seseorang menjadi pemimpin. Yang pasti seorang pemimpin harus memiliki budi pekerti yang luhur dan sikap saling menyayangi serta menghargai sesama.

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa,  siapa pun itu bisa menjadi seorang pemimpin, tetapi dengan menganut aturan–aturan yang telah ada dan tetap mengedepankan sikap tangung jawab dalam mengemban setiap tugas.

Novita Sari (Al-Ittihad)
Dari hal ini semoga kita bisa menjadi seorang pemimpin, meskipun tidak untuk semua orang tetapi pemimpin untuk memimpin langkah menuju jalan yang lurus dan di ridhoi oleh Allah SWT.    

*) Siswa kelas XII MA Unggulan Ulumiyyah Kebonharjo.