Sabtu, 19 November 2016

Eyang Cungkup Ndalem, Pembawa Santri Pertama di Kebonharjo


PONDOK PERTAMA : Ponpes Nahdlatut Tholibin al-Islamiyyin (NTI) menjadi pesantren yang pertama kali berdiri di Desa Kebonharjo. (Majalah Al-Ittihad)
Al-Ittihad - Beberapa abad silam Desa Keben atau yang biasa kita sebut Kebonharjo Kecamatan Jatirogo Tuban, kedatangan seorang ulama besar yang pertama kali membawa risalah Islam di wilayah ini. Beliau bernama Eyang Cungkup Ndalem yang memiliki nama asli M Thohir atau biasa dipanggil Mbah ndalem. Ia merupakan  pejuang dari tanah Ambon yang kala itu  sebagai demang di Keben.

Tidak hanya Mbah Ndalem, setelah beberapa tahun Keben juga disinggahi seorang pejuang yang saat itu sebagai anak buah Pangeran Diponegoro. Beliau adalah Mbah Buyut Pande, seorang ulama’  yang berasal dari Kota Rembang Jawa Tengah.  Mbah Buyut Pande juga dikenal sebagai pembuat benda-benda pusaka.

Dari pejuang tersebut, hanya keturunan Mbah Buyut Pande yang sampai saat ini bisa meneruskan memperjuangkan Agama Islam di Desa Kebenharjo, yaitu lewat seorang putrinya yang bernama Buyut Senen.

Setelah beranjak dewasa  Buyut Senen tercatat  dipersunting oleh Mbah Towijoyo (seorang ulama’ dari Desa Paren Kabupaten Rembang). Dari semua keturunan keturunan mereka hanya dari Mbah Toyiban yang sampai saat ini bisa meneruskan perjuangan mesyiarkan ajaran Islam di Kebenharjo.

Dengan semakin maraknya masyarakat yang memeluk Agama Islam, Mbah Toyiban akhirnya punya inisiatif untuk membangun pondok pesantren. Pesantren itu adalah yang pertama kali berdiri di daerah Kebonharjo.

Perjuangan pun tak berhenti, santri Mbah Toyiban terus bertambah hingga berasal dari luar daerah seperti Demak, Bojonegoro, Lamongan, Kendal dan masih banyak dari daerah-daerah lainnya. Konon, dari berbagai riwayat cerita Mbah Toyiban juga diyakini memilki santri dari bangsa jin. Jin-jin tersebut saat itu mengabdi bersama beliau dalam menyebarkan Agama Islam.

Perlu diketahui, pada masa itu bangunan masjid dan pesantren masih begitu sederhana. Bangunannya berbahan gladak dan pagar bambu. Setelah banyak santri yang menghuni pesantren, akhirnya keluarga dari Mbah Toyiban pindah dan bergeser ke sebelah barat jalan yang saat ini ditempati Ponpes Nahdlatut Tholibin Al-Islamiyyin (NTI).

Setelah Mbah Toyiban wafat, perjuangan pun dilanjutkan oleh anak cucunya KH Ridlwan dan KH Masduki. Hingga sampai saat ini pesantren berada di bawah naungan KH. Fatchurrohman yang merupakan salah seorang putra dari KH Ridlwan. (Tulisan ini merupakan penggabungan cerita dari para sesepuh Desa Kebonharjo/Fatim-Masithoh/Red/MA)

3 komentar: