![]() |
(pelajarislam.com) |
Oleh : Sintya, S. Pd *)
Ini kisahku, namaku Dina. Aku adalah anak satu-satunya anak perempuan dalam keluarga. Aku terahir dari keluarga yang amat sederhana. Ayahku bekerja sebagai kuli bangunan yang menenap, dan ibuku hanya seorang ibu rumah tangga. Walaupum penuh dengan kesederhanaan, kami hidup dengan bahagia. Aku menjalani hidup layaknya seperti anak remaja lainnya, aku sungguh bahagia dengan hidupku.
Namun kejadian 2 bulan yang lalu telah benar-benar merubah hidupku. Dokter memvonis ayahku akan mengalami kelumpuhan permanen. Aku memutar otak apa yang harus aku lakukan dengan ijazah madarah aliyyah ini. Ingin lanjut ke kuliah tapi tidak ada biaya. Hingga tiba pada suatu malam, yang kala itu adalah hari ulang tahunku yang ke 18 tahun. Harusnya aku bahagia tapi tidak untuk detik ini. Aku berfikir seolah-olah hidup tidak adil lagi bagiku.
Tepat pukul 24.00 ponselku berbunyi, ada SMS masuk “Selamat ulang tahun” belasan SMS nasuk baik dari teman maupun keluarga. Dengan ditemani kesunyian malam, aku menata tekad ini. Aku akan tetap melangkah meskipun dalam kesulitan.
******
Mentari bersinar cerah, secerah hatiku yang kini sedikit lebih baik dari kemarin. Aku memutuskan untuk malanjutkan kuliah dan ini adalah hari pertamaku. Meskipun perekonomian keluarga sudah tidak seperti dulu lagi, ayah tetap memprioritaskan pendidikan menjadi yang nomor satu. Aku berusaha menbagi waktu antara kuliah dan bekerja. Selain untuk biaya kuliahku sendiri juga untuk membantu ibu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, saat ini ibuku juga bekerja menjadi tukang cuci. Di kampus aku memiliki seorang sahabat dekat, sejak SMA kami selalu bersama-sama. Dia selalu ada, baik diwaktu senang maupun susah. Indah, itulah panggilan akrabnya.
Tidak pernah terbayangkan jika hidupku akan menjadi begin, dulu aku amat dimanja. Namun kini jika aku menginginkan sesuatu aku harus bekerja terlebih dahulu. Aku berusaaha tegar menjalani kehidupan ini. Satu tahun berjalan, aku mulai terbiasa menjalani kehidupan semacam ini. Pagi kuliah dan malamnya bekerja di apotek. Hasilnya sudah lebih dari cukup untuk biaya ku,iahku dan membantu pengobatan ayah.
Namun badai kembali menggoyahkan keteguhan dan kesabaranku. Ibu pergi meninggalkan aku dan ayah. Kini aku hidup bersama ayah yang sangat menyayangiku dan kenangan seorang ibu yang meninggalkanku tanpa alasan apa pun. Tapi sedikit pun aku tidak pernah membencinya, karena di telapak kakinya surgaku.
Aku merubah ulang jadwal keseharianku. Selain kuliah dan bekerja, aku juga harus merawat serta menyiapkan keperluan ayah.
Ayah : “Nak, kamu sudah punya uang untuk bayar semester? Katanya besok kmu ujian,”.
Dina : “Belum ada yah,”.
Ayah : “Untuk meringankan biaya, jual saja apa yang ada di rumah ini agar kamu bisa ikut ujian,”.
Seolah-olah pikiranku jauh melayang, memikirkan barang apa yang harus aku jual. Tanpa sadar hingga malam pun tiba, mata ini sulit untuk terpejam. Rasa marah, benci, dan dengki bercampur jadi satu. Aku memutuskan untuk tidak menjual barang apa pun dan aku putuskan untuk tetap berangkat ujian dengan santai dan melihat apa yang akan terjadi nanti.
Pagi pun tiba aku bergegas berangkat dan menuju ruangan lantai dua, saatnya ujian dimulai. Tiba-tiba terdengar suara keras yang membuat kaget semua penghuni ruangan itu. “Barang siapa yang belum membayar uang semester, dimohon keluar sekarang juga”.
Tanpa pikir panjang, seketika itu juga aku keluar dengan menitikkan air mata dan melangkah menuju taman yang ada di kampus. Suasana sepi dan hening membuat pikirannku tak karuan. Aku merasa tak berdaya, sedang mahasiswa lain terfokus pada ujiannya.
Tanpa aku sadari seorang laki-laki yang tak aku kenal menghampiriku, entah malaikat atau manusia yang berhati malaikat.
Laki-laki : “Nak, kenapa kamu menangis dan mengapa tidak ikut ujian?”.
Dina : “Aku belum bayar semester jadi tidak boleh mengikuti ujian,”.
Lali-laki : “Memangnya berapa yang kamu butuhkan nak?”
Dina : “Rp 600 ribu pak,”.
Laki-laki : “Tunggu di sini sebentar,”.
Laki-laki tidak kukenal tersebut masuk ke mesin ATM yang berada disamping kampus. Kemudian beliau menhampiriku kembali dan menyerahkan uang sebesar Rp 1,8 juta. Bahkan beliau tidak bertanya nama, alamat, aku pun tidak mengetahui namanya. Setelah aku mengucapkan terima kasih beliau langsung pergi.
Kini aku menyadari, ternyata masih banyak orang yang menyayangiku. Bahkan orang tersebut mungkin hanya satu dari seribu manusia yang berhati malaikat.
*****
Empat tahun berlalu, aku gunakan uang tersebut hingga menjadi perantara keberhasilanku menjalani perjalanan hidup yang panjang. Akhirnya selain sukses menyandang (S1) Sarjana Pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, aku juga sukses menjadi pengusaha roti. Saat itu, aku gunakan uang sisa membayar SPP dari pemberian laki-laki yang tidak aku kenal kemarin sebagi modal berbisnis roti. Sekarang aku sadar, bahwa sebagai manusia hanya bisa berencana. Hanya Allah SWT yang menentukan. Dengan semangat kerja keras, selalu berusaha, sabar, semua akan dapat tercapai.
*) Alumnus Unirow Tuban dan pengajar Bahasa Indonesia di MA Unggulan Ulumiyyah Kebonharjo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar