Jumat, 30 September 2016

Ta’ziran Unik ala MTs Ulumiyyah

TA’ZIRAN UNIK : Sejumlah siswa MTs Ulumiyyah yang tidak mengikuti shalat dhuha berjamaah mendapatkan ta’ziran shalat berjamaah di Halaman MTs Ulumiyyah.
Al-Ittihad, edisi 5 – Setiap sekolah atau madrasah, sudah pasti memiliki aturan yang sudah disepakati bersama. Aturan tersebut sebagai benteng untuk membatasi kenakalan siswa yang belakangan kerap terjadi.

Begitu juga di MTs Ulumiyyah. Lembaga pendidikan yang terletak di Desa Kebonharjo Kecamatan Jatirogo itu, memiliki aturan sendiri untuk para peserta didik. Aturan itu termasuk meliputi model ta’ziran atau hukuman.

Soal model ta’ziran, MTs Ulumiyyah tergolong memiliki model yang cukup unik. Ada beberapa macam ta’ziran yang sudah biasa diterapkan di lembaga yang berada di bawah naungan Yayasan Ponpes al-Barmawy itu.

Menurut Pembina OSIS MTs Ulumiyyah, Ustadz Da’in Munthoha, ta’ziran yang paling banyak diterapkan di lembaga ini adalah shalat dhuha di halaman madrasah. Biasanya ta’ziran tersebut diberlakukan kepada siswa yang melanggar aturan tidak ikut shalat dhuha berjamaah.

“Siswa yang tidak mengikuti jamaah shalat dhuha diminta untuk shalat di tengah-tengah halaman madrasah dan sudah pasti dilihat oleh semua siswa yang sedang menjalankan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Diharapkan mereka akan merasa malu dan tidak akan mengulanginya kembali,” ujar ustadz yang juga merupakan pelatih futsal ini.

Menurut ustadz pengampu olahraga ini, MTs Ulumiyyah sama sekali tidak menerapkan hukuman dengan model kekerasan. Sebab, hukuman model itu diyakini tidak akan membuat siswa menjadi jera justru rentan menimbulkan perasaan dendam.

“Apa pun ta’zirannya, yang terpenting adalah tidak memberatkan siswa. Ta’ziran harus memberikan edukasi kepada siswa tanpa disertai dengan unsur kekerasan sekecil apa pun. Apalagi jika sampai menghilangkan hak-hak yang seharusnya dimiliki siswa,” imbuhnya.

Seorang siswa kelas IX MTs Ulumiyyah, Zufidah mengatakan, pengaruh model ta’ziran yang diterapkan di madrasah cukup berpengaruh terhadap sikap siswa secara keseluruha. Siswa kan berusaha bersikap lebih disiplin dan mentaati aturan untuk terhindar dari ta’ziran.

“Awalnya mereka mentaati atura dan disiplin karena takut dita’zir. Namun, lama kelamaan hal itu akan menjadi kebiasaan positif yang dilakukan oleh siswa,” tandasnya. (Miftah-Habibah-red)

Selasa, 27 September 2016

Bakal Ajak Istri dan Kedua Orang Tua ke Tanah Suci

PAPARKAN VISI : Nasirussaad saat memaparkan visi dan misi dalam proses pemilihan Presiden OSIS MA Unggulan Ulumiyyah awal tahun 2016 lalu.
Al-Ittihad, edisi 5 - Sosok yang satu ini memang sudah tak asing lagi di jagad bumi Ulumiyyah. Maklum saja, saat ini jabatan tertinggi di kepengurusan OSIS MA Unggulan Ulumiyyah Kebonharjo berada di tangannya. Sudah hampir setahun ini ia adalah Presiden OSIS MA Unggulan Ulumiyyah.

Tahun ini, semua hal tentang kegiatan OSIS berada di genggaman cowok penghobi kemolekan alam ini. Nama lengkapnya adalah Nasirus Saad. Ia adalah siswa sekaligus santri Ponpes Nahdlatut Tholibin al-Islamiyyin (NTI) Kebonharjo Jatirogo yang datang dari kota Bengawan Solo, Bojonegoro.

Kak saad, begitulah siswa lain biasa memanggilnya. Saat ini ia duduk di kelas XII-B MA Unggulan Ulumiyyah. Dia terlahir dari pasangan Bapak Anwar dan Ibu Nur Sholihah. Masa kanak-kanaknya dihabiskan di kota yang terkenal akan dongeng Angkling Darmo tersebut. Uniknya, kak Saad butuh waktu 3 tahun untuk menamatkan pendidkan TK-nya. Alasan masih terlalu kecil untuk menginjak jenjang berikutnya.

Semenjak menginjakan kaki di MA Unggulan Ulumiyyah, kak Saad paling getol menggeluti dunia kaligrafi. Jari-jemarinya mulai mahir menari di atas lembaran-lembaran putih hingga tercipta bentuk mushaf-mushaf Al-Qur’an yang begitu indah. Dia pun pernah meraih juara II dalam lomba kaligrafi tingkat kecamatan.

“Sebenarnya saya tidak begitu minat dengan prestasi. Saya takut sombong sebagaimana kebanyakan orang ketika mendapatkan nikmat prestasi,” ujarnya.

Bujang yang terkenal dengan ketegasannya ini memiliki cita-cita cita-cita begitu mulia. Selain menjadi Direktur Utama di perusahaan yang akan dibuatnya sendiri, ia juga ingin pergi ke tanah suci bersama kedua orang tua dan istrinya kelak.

Entah kapan. Namun cita-cita itu akan selalu ia usahakan agar terwujud sempurna. Oleh karena itu, ia bertekad untuk terus mencari dan memperdalam ilmu agar memiliki bekal hidup di dunia dan akhirat. Sebuah cita-cita yang sangat mulia. “Saya ya saya. Saya bukan orang lain. Itulah prinsip yang selalu menjadi pedoman dalam hidup saya,” ujarnya.

Disinggung soal tentang jabatan yang saat ini diembanya, ia pun yakin bersama kabinetnya sekarang mampu bekerja lebih baik lagi dari yang sebelumnya. “Buat teman-teman dimana pun kalian berada, teruslah berdoa, kejarlah cita-ciamu, dan jadilah seperti kehidupan kupu-kupu terbang bebas ke angkasa,” pungkasnya. (Fatimah/Mimin-Wid)

Minggu, 25 September 2016

Peran Pesantren Salafi dalam Modernisasi

Oleh; Arsilia *)

Dilihat dari berbagai lensa kehidupan, pihak yang memotori kuatnya dunia Islam adalah para generasinya sendiri. Terkait itu, banyak dari kalangan yang merekomendasikan bahwa salah satu hal yang dapat digunakan untuk membentuk generasi Islam adalah pesantren salafi. Dimana tempat yang pertama kali dirintis oleh para walisongo. Inilah yang menjadi salah satu tonggak utama penyebaran islam di Indonesia.

’Pesantren Salafi - Modernsasi’ topik yang kini marak diperbincangkan. Pengertian pesantren menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah tempat para santri menimba ilmu. Sedangkan Salafi adalah kuno, serta Modernisasi yang berarti pembaharuan model yang tentunya tidak menggunakan model salafi yang ‘berupa utawi iki iku’.

Modernisasi merupakan hal baru yang mampu mempengaruhi segala aspek kehidupan baik dari segi politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Dari yang anak-anak, remaja, dewasa, sampai lansia yang mana kesemuaan dari ini dimotori oleh orang barat. Kesemuaan dari ini semua banyak yang tidak sesuai dengan ajaran salafi agama islam.

Salafi mengajarkan hidup sosial, gotong royong, kebersamaan. Namun kehidupan yang kini tengah terjadi di kalangan masyarakat sangat jauh dari itu. Paham individualisme telah mengisi setiap sudut kehidupan.

Berbeda dengan sistem yang digunakan salafi. Sistem ini selalu mengikuti jejak salafus sholeh. Mengkedepankan akhlak, moral dan hidup sosial.  Lebih-lebih kehidupan yang sudah tercermin dalam pesantren salafi, semuanya tidak pernah lepas dari goton royong dan sosial. Semua program yang diusung melibatkan banyak orang/santri seperti ro’an, musyawaroh, sorogan kitab, sampai bahtsul masail. Semuanya menderminkan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Kehidupan yang saling bertolak belakang, mungkinkan mampu bersanding dan berjalan selaras? Sedangkan kehidupan masing-masing dari mereka memiliki unsur pribadi yang sangat signifikan. Modernisasi telah mengunggulkan teknologi sampai kancah nasional dan mempengaruhi kepribadian yang mengarah pada sifat individulistik. Sebaliknya, salafi unggul dalam tatanan akhlak dan moral namunhanya mencakup bagian tertentu.

Pandangan penulis, dari kenyataan obyek jika dipandang dari lensa praktiknya, pesantren dapat berperan aktif dan bersanding dengan dunia modernisasi. Tentu saja dengan tetap membawa fungsimua.

Pertama, pesantren sebagai pembatas. Sub-sub yang sudah tersebar melalui teknologi sangatlah sulit dihentikan yang bisa dilakukan hanyalah membatasi. Tidak sepatutnya jika semua yang diproduksi dalam kecanggihan teknologi harus dikonsumsi. Karena dalam praktiknya pesantrenlah yang paling unggul mencetak moral dan akhlak yang baik. Pesantren membekali ilmu agar bisa membatasi mana yang layak diasumsi dan mana yang tidal layak.

Kedua,  Pesantren sebagai media penyaring. Pilah pilih dalam hal baru sangatlah penting. Di sinilah pesantren yang akan berperan yaitu dengan tetap mempertahankan apa yang telah diajarkan syariat. Tentunya juga mampu menyaring perkembangan akan kecanggihan teknologi yang kini hampir menguasai seluruh dunia. Sehingga dalam realisasinya, pesantren tidak dianggap senagai hal yang kuno.

Ketiga, Pesantren sebagai benteng. Semua perubahan pembaharuan dengan berbagai macam bentuknya, kebanyakan dari itu semua dapat merusak akhlak dan moral para generasi saat ini. Soal ini, pesantren dapat difungsikan sebagai  benteng untuk para generasinya. Wallahu’alam.

*) Siswa Kelas XII-A pengurus OSIS MA Unggulan Ulumiyyah

Minggu, 18 September 2016

Mengenal Sosok KH Fatchurrahman, Hafal Alfiah di Usia 13 Tahun

KH Fatchurrahman Kebonharjo


Al-Ittihad –  Bagi kalangan warga Nahdliyyin, tentu sudah tidak asing lagi dengan sosok KH Fathcurrahman. Pengasuh Pondok Pesantren Nahdatuth Tholibin Al-Islamiyyin (PP NTI) Kebonharjo ini, sudah sangat dikenal di kalangan Nahdliyyin lantaran kegigihan beliau dalam melakukan dakwah. Namun, belum banyak yang tahu perjalanan panjang kyai yang terkenal tawadhu’ ini, hingga akhirnya bisa menegakkan panji Islam, khususnya di bumi Ronggolawe, Tuban.

Kyai Fatchur lahir di Desa Kebonharjo Kabupaten Tuban sekitar tahun 1933. Saat itu, Tuban masih dalam penguasaan kolonial Belanda. Kyai Farchur kecil sudah mendapatkan ddikan keras tentang agama dari sang abah, KH Ridlwan. Bahkan, sangking khawatir pendidikan agamanya terbengkalai, KH Ridlwan melarang keras sang putra untuk ikut bersekolah di Sekolah Rakyat (SR-sebutan Sekolah Dasar zaman dulu).

Saat berbincang dengan reporter Al-Ittihad, Rabu (15/5) siang, kyai Fathcur menceritakan, meskipun sang abah melarang, beliau tetap ngotot secara sembunyi-sembunyi bersekolah di SR. Dalam pikiran beliau saat itu, adalah ingin mendapatkan ilmu umum, selain ilmu agama.

“Aku nyolong-nyolong melu SR, mergo pengen oleh ilmu umum. Lak ilmu agomo kan kan wes sinau karo bapak,” kenang belau berkaca-kaca.

Bahkan, untuk mengelabuhi sang abah, setiap akan berangkat ke SR, beliau tetap memakai sarung. Setelah sampai pada lokasi sekolah yang saat itu terletak di Jatirogo, dan berjarak sekitar dua kilo, barulah sarung dilepas dan digantikan dengan celana panjang. Pada akhirnya, kyai Fatchur tidak sampai menyelesaikan pendidikan di SR hingga lulus. Itu lantaran pada saat beliau menginjak kelas enam, Kyai Ridlwan memergokinya.

“Aku gak sampai lulus. Lha wong pas kelas enem konangan karo bapak. Bapak yo duko, banjur aku kon mendek gak oleh sekolah maneh,” tutur kyai Fatchur menerawang.

Meskipun kyai Fathcur tetap bersekolah di SR selama hampir enam tahun, namun ilmu pesantren sama sekali tidak ditinggalkan. Buktinya, di bawah arahan sang abah, beliau sudah hafal nadhoman Alfiah pada saat umur 13 tahun.

“Aku apal Alfiah yo umur 13 tahun. Seng nyemak yo bapak kui,” kata kyai Fatchur lagi.
Setelah ketahuan tetap ikut pendidikan SR, maka sang abah langsung membawa beliau ke Kajen, Pati untuk nyantri pada KH Thohir. Di sana, kyai Fatchur belajar di Madrasah Diniyyah Matholek. Karena rasa ingin tahu terhadap ilmu umum, setelah lulus dari madrasah Matholek, beliau kembali mencicipi pendidikan umum. Kali ini beliau bersekolah di Sekolah Menengah Islam (SMI).

Saat itu, sang abah juga tidak mengetahuinya. Namun belum sampia lulus, lagi-lagi sang abah, KH Ridlwan memergoki. Kontan saja, KH Ridlwan langsung membawa beliau ke Watucongol, Magelang. Di bawah asuhan KH. Thohir, secara total beliau nyantri selama tujuh tahun.

“Bar konangan bapak sekolah neng SMI, langsung aku dijak neng Solo. Karepe bapak dikon nyantri neng gone KH Idris. Nanging, jalaran neng kono sistem pesantrene wes owah, bapak marakno aku neng Watucongol Magelang. Sinau karo mbah kyai Dalhar,” cerita beliau.

Pertama kali sowan kepada KH Dalhar, sang abah dipesani agar selepas di Watucongol mengarahkan KH Fathcur untuk nyantri ke Tegaldowo. Baru delapan bulan bulan berguru, KH Dalhar wafat. Maka, KH fathcur pun menjalankan pesan KH Dalhar untuk melanjutkan nyantri di Tegalrejo kepada KH. Chudori.

“Nyantri lagi entuk wolong ulan mbah Dalhar kapundut. Banjur aku ngelanjutno neng Tegalrejo, koyok seng dipesenke mbah Dalhar naliko sugeng,” imbuh beliau.

Di Tegalrejo KH Fathcur nyantri selama kurang lebih delapan tahun. Bahkan. Karena pengetahuan agamanya dianggap sudah mumpuni, KH Fathcur sempat ditugasi menjadi menjadi seorang naib. Saat itu, sekitar tahun 1980-an, beliau ditugaskan di daerah Weleri, Kendal. Lagi-lagi, karena tidak setujunya abah, beliau harus melepas tugas menjadi naib.

Setelah delapan tahun menimba ilmu di Tegalrejo, KH Fathcur melanjutkan berpetualang nyantri di Sarang. Ma’hadil Ilmi As-Syar’iyyah (MIS), asuhan KH Imam bin Syuaib, menjadi pilihan beliau. Di sana, beliau nyantri selama empat setengah tahun untuk melengkapi ilmu agama yang sudah diperoleh sebelumnya.

“Dadi neng Sarang kuwi aku mondok terakhir. Bar songko Kajen, Pati, Watucongol, Tegalrejo banjur Sarang. Bar kui aku kawin,” ungkap beliau.

Dari perjalanan panjang memperdalam ilmu agama itu, ada sebuah prinsip yang selalu terpegang dan hingga kini ditanamkan kepada santri beliau. Prinsip tersebut, sesuai dengan apa yanga da dalam Ta’limul Muta’alim, terkait dengan proses mencari ilmu yang harus merasakan kangelan (kesulitan), tirakat, mikir tenanan (belajar sunggh-sungguh), sue mangsane (lama waktunya) serta milih guru (Bisa memilih guru yang ‘alim).

Satu lagi sejak pertama kali nyantri, KH Fathcur selalu menempati gothaan yang sebelumnya ditempati oleh ulama’-ulama’ besar. Gothaan-gothaan itu antara lain bekas KH Achmad Jazuli Ustman, pendiri Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso Kediri. (Ma’sum/Wahab)

Minggu, 11 September 2016

Hukum Saudara Kandung Terlanjur Menikah



(http://www.ukhtiindonesia.com/)


Fiqih Umum

Pengasuh : Ustadz Moch. Zuher Chamdi

Kronologi masalah                : Ada sepasang saudara kandung, pada waktu mereka masih kecil terpisahkan oleh adanya suatu bencana alam. Setelah beberapa tahun terpisah akhirnya diwaktu dewasa dan kuliah,tak sengaja mereka bertemu dan menjalin cinta hingga kepernikahan dan di karuniai dua orang anak, terkuaknya mereka adalah saudara karena sang orang tua kandung melihat tanda lahir pada punggung anak ada dua tahi lalat dan akhir berlanjut tes darah serta sidik jari dan akhirnya membenarkan sebagai saksi dua orang dokter rumah sakit dan perawat bayi."
Pertanyaan                              : Bagaimanakah hukum dari pernihkahan yang dilakukan oleh kedua orang tersebut?
Jawaban                                   : Hukum asal dari pernikahan bersaudara adalah Haram (Qs. AnNisa’ :23), dikarenakan dalam masalah tersebut ada unsur ketidaksengajaan maka hukumnya menjadi boleh/Mubah. Akan tetapi dari pernikahan tersebut harus segera dipisahkan, dengan ketentuan untuk si wanita (adik dalam pertanyaan di atas)  maka diperlakukan masa iddah dan berhak atas mahar mitsil. sedangkan untuk sang pria (kakak dalam pertanyaan di atas) maka tetap terjalin ikatan nasab atas wanita yang telah ia nikahi karena keduanya adalah saudara mahram. (kitab Bughyatul Mursyidiin juz : 1 hal: 419)

لْأُخْتِحُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ ا

"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan."
[QS. An-Nisaa’ : 23]
Pertanyaan                              : Bagaimana nasab (keturunan) anaknya
Jawaban                                    : Maka anak hasil pernikahan tersebut ternasab pada bapaknya dan berhak menjadi wali nikahnya dalam pernikahannya kelak  (kitab Bughyatul Mursyidiin juz : 1 hal: 419)


  نسيباالولدكان منهحملتفان بينهمفرقواقرارابرضاعمحرمةامراةنكحلوو
 حلفي النكاح حكمكور المذ والوطئمسميلاال المثلمرما ولهاالشبهةعدة وعليهانفيهبجوز  بلولطئالاحد
 زوبجوعهوفرو اصولهعليهي  وتحرم وفروعه  اموالها نكح الوطئ علي فحرم  النقض ولافي والخلوةالنظر
  سهوةبلا ةالمذكورالمحرمالى


Darah Haid Keluar Hanya Dua Jam

(http://gayahidup.republika.co.id/)

FIQIH HAID

Pengasuh : Ustadz Abdullah Luthfi

1.     Seandainya ada seorang perempuan yang sedang mengeluarkan darah tetapi hanya dua jam,kemudian perempuan tersebut suci dua hari selang kejadian itu seorang perempuan tersebut mengeluarkan darah lagi selama  tujuh hari.apakah hukum darah perempuan tersebut dan bagaimana hukum sholat yang dua hari itu?
Jawab : Darah yang keluar selama dua jam dihukumi haid,karena  darah tersebut masih bersambung dengan darah tujuh hari tadi.jika semua darah yang  diakumulasi menjadi 10 Hari,dengan penjelasan dua jam dianggap satu hari,suci dua hari(masih masa haid),darah yang keluar tujuh hari. Dan sholat yang dua hari tadi tidak dihukumi harom,karena sudah terlanjur dan tidak tahu.ditegaskan dalam takbir. Apabila darah terputus-putus, maka setiap melihat darah berhenti diperinci sebagai berikut:

a.      Jika darah yang keluar telah mencapai paling sedikitnya haid yaitu sehari semalam (24 jam), maka wajib baginya untuk mandi, shalat dan puasa (di bulan Ramadhan), baik di bulan sebelumnya sudah pernah terjadi putusnya darah lalu keluar lagi ataukah belum pernah terjadi. Ini menurut pendapat Imam Ibn Hajar. Adapun menurut Imam Rofi’i jika di bulan sebelumnya pernah terjadi, maka tidak wajib mandi, shalat dan puasa.
b.     Jika darah yang keluar kurang dari 24 jam, maka darah tersebut adalah darah istihadhoh, sehingga tidak wajib mandi.
c.      Apabila darah keluar lagi sebelum 15 hari (dari keluar darah pertama), maka menjadi jelas bahwa dia masih dalam keadaan haid, sehingga wajib mengqodho’ puasa yang telah dia kerjakan di waktu putusnya darah dan tidak wajib qodho’ shalat.



الإبانة والإفاضة / 20
النقاء المتخلل بين الدماء الحيض
اذا رأت الحائض يوما دما ويوما نقاء او ساعة دما وساعة نقاء وهكذا، فلا خلاف على المذهب ان ايام الدم حيض، ولا خلاف انها اذا رأت النقاء يجب عليها ان تغتسل وتصلي وتصوم، ويجوز للزوج وطؤها، لأن الظاهر بقاء الطهر وعدم معاودة الدم، واختلفوا في النقاء الذي يكون بين دمي الحيض، والأظهر انه حيض بالشروط التالية :
1.       ان لا يجاوز الخمسة عشر يوما، فلو رأت الدم عشرة ايام ثم نقاء ولم يأتي الدم الا في السادس عشر، فالسادس عشر وما قبله ليس بحيض بل طهر لأن ذلك النقاء لم يعقبه دم في الخمسة عشر.
2.       ان لا ينقص مجموع الدماء عن اقل الحيض، فاذا نقص مجموع الدماء عن يوم وليلة فهذا الدم دم استحاضة.

ثانيا : متى يحكم لها بالطهر كما ان المرأة تحيض برؤية الدم فانها تطهر بنقطاع الدم بعد بلوغ اقله، بأن خرجت القطنة نقية ليس عليها شيئ من آثار الدم، فتؤمر بالغسل والصلاة والصوم، ويحل وطؤها، فان عاد الدم في زمن الحيض تبين وقوع عبادتها في الحيض، فتؤمر بقضاء الصوم فقط، ولا اثم على الزوج بالوطء لبناء الأمر على الظاهر، ثم ان انقطع بعد ذلك حكم بطهرها، وهكذا ما لم يعبر الخمسة عشر.
وان اعتادت المرأة ان ينقطع الدم ثم يعود فانها لا تفعل وقت الإنقطاع شيئا مما مر، لأن الظاهر انها في هذا الشهر كالذي قبله، وهذا هو الذي رجحه الرافعي وقال عنه العلامة ابن حجر : انه وجيه
تحفة المحتاج في شرح المنهاج  – (ج 4 / ص 254(

وَبِمُجَرَّدِ رُؤْيَةِ الدَّمِ لِزَمَنِ إمْكَانِ الْحَيْضِ يَجِبُ الْتِزَامُ أَحْكَامِهِ ، ثُمَّ إنْ انْقَطَعَ قَبْلَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بَانَ أَنْ لَا شَيْءَ فَتَقْضِي صَلَاةَ ذَلِكَ الزَّمَنِ وَإِلَّا بَانَ أَنَّهُ حَيْضٌ ، وَكَذَا فِي الِانْقِطَاعِ بِأَنْ كَانَتْ لَوْ أَدْخَلَتْ الْقُطْنَةَ خَرَجَتْ بَيْضَاءَ نَقِيَّةً فَيَلْزَمُهَا حِينَئِذٍ الْتِزَامُ أَحْكَامِ الطُّهْرِ ، ثُمَّ إنْ عَادَ قَبْلَ خَمْسَةَ عَشَرَ كَفَّتْ وَإِنْ انْقَطَعَ فَعَلَتْ وَهَكَذَا حَتَّى تَمْضِيَ خَمْسَةَ عَشَرَ فَحِينَئِذٍ تُرَدُّ كُلٌّ إلَى مَرَدِّهَا الْآتِي فَإِنْ لَمْ تُجَاوِزْهَا بَانَ أَنَّ كُلًّا مِنْ الدَّمِ وَالنَّقَاءِ الْمُحْتَوَشِ حَيْضٌ وَفِي الشَّهْرِ الثَّانِي وَمَا بَعْدَهُ لَا تَفْعَلُ لِلِانْقِطَاعِ شَيْئًا مِمَّا مَرَّ لِأَنَّ الظَّاهِرَ أَنَّهَا فِيهِ كَالْأَوَّلِ هَذَا مَا صَحَّحَهُ الرَّافِعِيُّ ، وَهُوَ وَجِيهٌ لَكِنَّ الَّذِي صَحَّحَهُ فِي التَّحْقِيقِ وَالرَّوْضَةِ وَهُوَ الْمَنْقُولُ كَمَا فِي الْمَجْمُوعِ أَنَّ الثَّانِيَ وَمَا بَعْدَهُ كَالْأَوَّلِ .
تحفة المحتاج في شرح المنهاج  – (ج 4 / ص 255(


2.     Seandainya ada seorang perempuan setelah melahirkan seorang anak, kemudian mengeluarkan darah yang putus-putus. Setelah itu berhenti kemudian keluar lagi, darah yang keluar tersebut apakah dihukumi darah nifas?
Jawab : Darah yang keluar tadi dihukumi darah nifas, karena tidak melebihi 60 hari.   
3.     Apabila seorang perempuan sedang haid boleh perempuan tersebut memotong kuku bagaimana hukumnya?
Jawab : Hukumnya tidak wajib disucikan. Karena banyak perbedaan pendapat yang dikemukakan sebagian ulama’ bahwasannya tidak perlu disucikan. Sedangkan menurut kitab Fathul Mu’in wajib disucikan. Beda lagi dengan hadist dhoif yang mengemukakan bahwa ketika orang yang berhadast besar atau junub dilarang memotong anggota tubuh. Karena di akhirat nanti anggota tersebut menjadi panah yang akan melukai kita. Adapun pendapat lain yang dijelaskan pada takbir berikut:

Pendapat tersebut baru muncul atau bersumber dari pernyataan Imam al-Ghozali. Imam Al-Ghozali dalam kitab beliau Ihya’ ’ulum al-Din–sebagaimana dikutip dalam Mughni al-Muhtaj (1/72 al-Maktabah as-Syamilah) dan dalam Syarh al-Iqna li Matn Abi Syuja’ (1/60)–berpendapat :

قال فى الإحياء-أى إحياء علوم الدين للأمام الغزالى- لا ينبغى أن يحلق أو يقلم أو يستحد-يحلق عانته -أو يخرج دما ، أو يُبين -يقطع -من نفسه جزًا وهو جنب ، إذْ ترد سائر أجزائه فى الآخرة فيعود جنبا ، ويقال : إن كَل شعرة تطالبه بجنابتها .
Artinya : Dinyatakan dalam al-Ihya’ : Tidak semestinya memotong (rambut) atau menggunting kuku atau memotong ari-ari, atau mengeluarkan darah atau memotong sesuatu bagian tubuh dalam keadaan junub, mengingat seluruh anggota tubuh akan dikembalikan kepada tubuh seseorang. Sehingga (jika hal itu dilakukan) maka bagian yang terpotong tersebut kembali dalam keadaan junub. Dikatakan: setiap rambut dimintai pertanggungjawaban karena janabahnya. (Rossy/Masithoh-MA/Red)


Sesajen, Antara Budaya dan Larangan

Oleh : Siti Roidah *)

Tidak asing lagi bagi mayoritas masyarakat jawa tentang sesajen. Sesajen selama ini sudah dianggap sangat berkaitan dengan hal yang bersifat mistis. Sebenarnya, sesajen merupakan warisan budaya Hindhu dan Budha yang dulu biasa dibuat dan dipersembahkan untuk memuja para dewa, roh tertentu atau penunggu tempat (pohon, batu, persimpangan). Mereka melakukan itu agar dapat mendapatkan keuntungan dan menolak kesialan. Misalnya, pada saat upacara menjelang panen, masyarakat Jawa kuno membuat sesajen agar panennya melimpah.

Sebenarnya, jika dikaji lebih dalam, pada awalnya kaum jin itu takut pada manusia, sebagaimana manusia sekarang ini yang kebanyakan justru takut pada jin. Seperti sebuah cerita, apabila rombongan manusia berhenti di satu tempat di mana para jin itu menghuni tempat tersebut, maka para jin  akan berlarian ketakutan membubarkan diri. Mereka hanya berani mengamati dari jauh apa yang akan dilakukan oleh rombongan manusia itu.

Para jin justru tercengang ketika pemimpin rombongan manusia itu berseru bahwa mereka (para rombongan manusia) meminta perlindungan pada jin dari berbagai bahaya dan kejahatan yang ada di lembah itu. Kemudian para jin mendekati manusia dan mulai berani mendatangkan berbagai gangguan pada mereka

Di antara jin itu ada yang berhasil masuk ke tubuh salah satu orang dari rombongan itu, kemudian dia mulai mengatur bahwa dia lah penguasa daerah itu. Ia akan melindungi rombongan tersebut asalkan mau memberi tumbal atau korban berupa sesajen. Rombongan manusia itu percaya pada jin yang masuk ke tubuh orang tersebut. Mereka mulai menuruti semua permintaan jin tersebut, mulai dari menyembelih ayam cemani, menamam kepala kerbau, menyuguhkan bunga tujuh rupa dan lain sebagainya. Inilah cerita singkat asal muasal adanya sesajen diseluruh pelosok bumi.

Di Indonesia, ritual sesajen seperti itu masih banyak didapati dalam rangka minta keselamatan dan perlindungan dari jin penguasa suatu daerah. Misalnya dalam rangka sedekah bumi, pernikahan, khitanan, kelahiran bayi, dan lain sebagainya. Atau dapat juga dilakukan ketika hendak membangun rumah, jembatan, atau bangunan lainnya. Para petani juga ada yang memberikan sajen ke sawah agar panennya banyak. Selain petani, nelayan di tepi pantai juga sering memberikan sesaji ke laut agar tangkapan ikan melimpah.
Di luar itu, juga masih banyak daerah dan adat istiadat masyarakat yang melakukan kegiatan atau ritual sesaji. Mereka memberikan persembahan berupa kurban hewan, sesaji, makanan, buah-buahan bagi sosok yang dianggap sebagai penguasa ghaib daerah itu. Biasanya, sesajen dilengkapi dengan berbagai macam makanan seperti buah pisang, apel dan lain sebagainya. Kadang, sesajen juga diberi kembang tujuh rupa, kendil, dan sedikit beras. Penulis yakin, semua isi sesajen tersebut dulunya pada zaman Hindu Budha memiliki nilai filosofi tersendiri.

Masyarakat Jawa sejak dahulu percaya, dengan roh-roh yang tidak kelihatan. Mereka percaya bahwa roh-roh itu akan melindungi keselamatan mereka. Orang Jawa memberi sesajen atau ‘caos dahar’ yang dipercaya menjauhkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan dan mempertahankan batin dalam keadaan tenang. Sesajen yang digunakan biasanya dari nasi dan aneka makanan lain, daun-daun bunga serta kemenyan.

Pada jaman Jawa kuno, masyarakat Jawa menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Yang terjadi sebenarnya saat itu adalah sebagian masyarakat Jawa saat telah memiliki kepercayaan adanya kekuatan yang bersifat tak terlihat (ghaib), besar, dan menakjubkan. Mereka menaruh harapan agar mendapat perlindungan dan juga berharap agar tidak diganggu kekuatan gaib yang jahat (roh jahat).
Sesajen ini memiliki nilai yang sangat sakral bagi pandangan masyarakat yang mempercayainya. Tujuan dari pemberian sesajen ini untuk mencari berkah. Pemberian sesajen ini biasanya dilakukan di tempat-tempat yang dianggap keramat dan mempunyai nilai mistis yang tinggi.

Sesajen merupakan keharusan yang pasti ada dalam setiap acara bagi orang yang masih teguh memegang adat Jawa. Sesajen mengandung arti pemberian sesajian-sesajian sebagai tanda penghormatan atau rasa syukur terhadap semua yang terjadi di masyarakat sesuai bisikan gaib, paranormal atau tetuah-tetuah. Sebagian masyarakat membuat seasajen bukan hanya ketika mengalami kesusahan saja, melainkan juga ketika mereka mengalami kebahagiaan atau mendapat kenikmatan. Hal itu dilakukan untuk menolak balak dan melanggengkan kenikmatan yang dianggap telah diberikan oleh para roh leluhur.

Dari berbagai pandangan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa sesajen merupakan warisan budaya denagn tujuan untuk memuja para dewa, jin serta roh tertentu. Pemujaan terhadap jin, ataupun roh tersebut bertujuan untuk melindungi diri dari berbagai mara bahaya yang akan datang. Dapat diketahui bahwa Jin mulai berani mendatangkan berbagai gangguan pada manusia ketika para umat manusia meminta perlindungan kepada para jin. Kemudian para jin meminta persembahan berupa tumbal atau sesajen. Sebagain masyarakat mempercayai sesajen akan menambah rizki mereka. Oleh karena itu, ketika para petani di Jawa akan panen banyak dari mereka yang membuat sesajen di sawah. Pandangan mereka tentang sesajen begitu kental kepercayaanya, hingga beberapa tempat dianggap sebagai lokasi yang mempunyai nilai mistis. Banyak yang percaya akan adanya hal-hal mistis seperti itu. Namun begitu, seabgian besar tidak percaya dan menganggap itu semua tergantung pada masing-masing keyakinan manusia.

Jika dikaitkan dengan agama, tentu tidak lah benar bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini merupakan kehendak jin atau makhluk penunggu tempat tertentu. Semua sudah digariskan dan diatur oleh Allah, sang maha pencipta. Hanya saja, lantaran pada saat zaman Hindu dan Budha, Islam belum tersyiar, maka masyarakat yang sebenarnya pecaya ada kekuatan di lur mereka yang lebih berkehendak meminta pelrindungan para jin. Jika saja, saat itu ajaran Islam sudah masuk dan mengenatl di tengah masyarakat, maka kemungkinan besar budaya sesajen tidak akan pernah ada. Tentu, saja juga tidak serta merta budaya pemberian sesajen itu dilarang secara keras. Lebih bijak menurut penulis, hal itu bsia lebih ditekankan kepada kepentingan budaya. Sehingga ketika melaksanakan kegiatan yang bersifat sesajen itu lebih kepada mengingatnya sebagai sebuah budaya, bukan yang lain. Untuk segala permintaan dan doa semuanya harus ditujukan kepada Allah yang maha esa. Wallahu a’lam.

*) Penulis adalah siswa kelas XI MA Unggulan Ulumiyyan Kebonharjo, peserta kelas menulis Al-Itihad.

Sukses Menjaga Hafalan

Oleh : Widyowati *)

Pada hakekatnya semua orang ingin mudah dalam menghafal dan memiliki kemampuan hafalan yang kuat. Hafalan merupakan salah satu cara yang banyak ditempuh seseorang untuk mempermudah pemahaman. Untuk kalangan siswa, hafalan merupakan kewajiban yang harus dipenuhi, terlebih untuk kalangan santri. Bagi santri, hafalan merupakan kewajiban yang memiliki kedudukan tertinggi ketiga yang wajib dipenuhi setelah sholat dan taat kepada kyai. Hafalan merupakan materi urgen yang dapat mengantarkan seseorang menuju kesuksesan.

Hafalan tidak hanya diperuntukan bagi siswa ataupun santri saja. Orang yang sudah tidak menempuh jenjang pendidikan pun tidak bisa terlepas dari hafalan. Contoh kecilnya adalah, ketika seorang perempuan ingin membeli berbelanja di pasar, tentu ia akan merencanakan dan menghafal dulu apa saja yang akan dibelinya itu, secara berurutan. Disadari atau tidak, mereka telah melakukan proses menghafal meskipun dalam tahap yang sangat sederhana.

Untuk mempermudah menghafal, biasanya seseorang menempuh usaha yang berbeda – beda. Seseorang selalu berpikir, apa sajakah usaha yang harus ditempuh agar dapat mempermudah dalam menghafal. Berikut ini beberapa cara yang bisa dicoba untuk mempermudah seseorang dalam menghafal.

Pertama, kesungguhan. Syarat seseorang untuk hafal yang pertama adalah kesungguhan.Tanpa kesungguhan seseorang tidak akan hafal apa yang ingin dihafal karena kesungguhan berhubungan dangan niat. Jika seseorang tidak mempunyai niat di awal, maka sia-sia apa yang dikerjakannya. Seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW “Sesungguhnya segala sesuatu harus disertai dengan niat”.

Kedua, konsisten dan berkelanjutan. Jika seseorang ingin hafal apa yang ingin dihafalkan, maka harus dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan. Semua kesuksesan tidak ada yang didapat secara instan. Kesuksesan membutuhkan proses yang tidak mudah. Ada kalanya seseorang melakukan hafalan dengan cara membaca secara berulang-ulang baru bisa hafal. Ada yang membaca baru tiga kali sudah bisa hafal. Tetapi, tidak menutup kemungkinan ada juga yang hanya membaca sekali sudah hafal. Namun, secara implisit, jika seseorang ingin benar-benar hafal harus dilakukan secara langgeng.

Ketiga, shalat malam. Menurut sebagian besar ulama shalat malam dapat membuka dan melancarkan pikiran. Dengan terbukanya pikiran, seseorang dapat dengan mudah hafal apa yang ingin dihafal. Selain itu shalat malam juga dapat memupuk ketaatan kepada Allah.

Keempat, membaca al-Qur’an. Membaca al-Qur’an adalah termasuk salah satu cara memperlancar hafalan. Salah seorang ulama pernah berkata yang artinya, ”Tiada sesuatu yang lebih bisa menguatkan hafalan, kecuali membaca al-Qur’an dengan melihat tulisannya. Membaca Al-Qur’an dengan melihat (tidak hafalan) adalah lebih utama”. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, yang artinya "Ibadah yang paling utama dari umatku adalah membaca al-Qur’an dengan melihatnya”.

Kelima, puasa. Puasa merupakan rukun Islam keempat yang harus dijalankan oleh seorang muslim. Selain sebagai sarana taat kepada Allah, puasa juga dapat melancarkan pikiran seseorang untuk memudahkan dalam menghafal dan mempermudah masuknya ilmu pada otak manusia.

Keenam, berdo’a. Berdo’a merupakan sarana atau metode untuk meminta kepada Allah. Jika seseorang ingin mudah menghafal, berdo’alah kepada Allah untuk dibukakan dan dilancarkan pikirannya. Kemudian perbanyaklah membaca shalawat kepada nabi karena shalawat adalah dzikir untuk seluruh alam.

Ketujuh, menjahui maksiat. Ini sesuai dengan syi’ir Syekh al-Zarnuji dalam kitab Ta’limul Muta’alim, “Hafalan adalah pemberian dari Tuhan. Sedang pemberian Tuhan tidak diberikan kepada orang bermaksiat. Jadi menjahui maksiat adalah salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mempermudah hafalan”.

Selain tujuh cara di atas, juga terdapat beberapa cara lebih efektif dan praktis yang dapat mempermudah menghafal. Seperti yang terdapat dalam kitab Ta’limul Muta’alim disebutkan ada beberapa hal yang bsia membantu hafalan, yaitu melanggengkan bersiwak, minum madu, makan kandar (hanya terdapat di Turki) yang dicampur dengan gula dan makan anggur merah kering sebanyak 21 biji setiap hari.

Setelah seseorang hafal, hal yang paling ditakuti adalah lupa. Setelah berusaha keras untuk menghafal ternyata banyak yang sia-sia hanya karena lupa. Dari berbagai referensi yang pernha ada, ada beberapa cara yang dapat dilakukan ntuk menghindari lupa. Beberapa cara tersebut antara lain adalah tidak makan ketumbar dalam porsi yang banyak, tidak makan apel masam, tidak membaca tulisan pada nisan, tidak berjalan beriring-iringan dengan onta, dan tidak membuang ketombe yang masih hidup ke tanah.

Dari uraian artikel di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk mempermudah hafalan dapat dilakukan dengan banyak cara. Tentu saja yang palings ederhana adalah belajar yang diiringi  kesungguhan, konsisten dan berkelanjutan, shalat malam, membaca al-Qur’an, puasa, berdo’a, dan menjahui maksiat. Apa yang diuraikan penulis ini adalah beberapa hal positif yang bisa menjadi kunci sukses pencari dan penjaga hafalan.

*) Penulis adalah siswa kelas XI MA Unggulan Ulumiyyah Kebonharjo, peserta kelas menulis Al-Ittihad.

 

Menciptakan Kemandirian Pesantren Menuju Ranah ‘Industri’

Oleh : Ismawati *)

Bagi kalangan muslim, Islam secara mutlak diyakini sebagai agama yang diridhoi Allah, nan sempurna lagi abadi. Ajaran Islam banyak dijumpai dan disebarkan melalui lembaga pesantren. Sebagai lembaga yang dirintis oleh para ulama, pesantren merupakan tempat dimana para santri mendapatkan gemblengan ilmu agama dari sang kyai. Kebutuhan yang dibutuhkan tidak hanya untuk spiritual jiwa rohani semata, tetapi juga kekuatan jiwa raga. Hal itu merupakan wujud persiapan mental diri mendapatkan sebelum mendapatkan ilmu.
Setiap pesantren memiliki ciri khas dan makna tersirat yang menyimpan nilai filosofis sangat tinggi. Adapun ragam budaya, bahasa, amalan-amalan dan norma untuk mengatur kehidupan adalah hal yang identik dengan lembaga yang biasa disebut penjara suci ini. Pada dasarnya lembaga pesantren memiliki banyak hubungan yang sinkron dengan sifat kemandirian. Karena pada hakekatnya kemandirian adalah hal yang mampu memberikan pengaruh baik sesuai konteksnya.

Pesantren dan sifat kemandirian adalah simpul yang saling mengikat. Sebab dipandang secara dhohiriyah, pesantren memiliki andil dan peran sangat besar sebagai sub pendidikan dan pembangunan sosial kultural di Indonesia. Di Indonesia, kata pesantren sudah tidak lagi asing di telinga masyarakat.  Selama ini pesantren dikenal sering menciptakan terobosan baru dengan membentuk organisasai internal membnatu perkembangannya. Pembentukan dilakukan baik secara struktural maupun non-struktural.

Pengelolaan lembaga pesantren dengan mengintegralkan beberapa upaya penunjang pembelajaran ilmu-ilmu pesantren. Faktor penunjang itu yang akan mampu mengtransformasikan pesantren yang mandiri ke dalam sebuah ‘industri’. Tentu saja, ‘isndustri’ di sini bermakna konteks pesantren. Di sini, penulis ingin memaparkan terlebih dahulu bagaimana bisa tercipta sebuah kemandirian pesantren. Lalu, hal apa yang bisa dilakukan untuk menciptakan kemandirian pesantren.

Kemandirian sendiri dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) memiliki pengertian keadaan dapat berdiri sendiri tanpa ketergantungan orang lain. Pesantren, adakalanya memiliki dua sifat layaknya manusia, yakni sosial dan individu.

Namun, dalam konteks ini sifat individulah yang lebih pas dan dominan. Pesantren bersifat individu atau mandiri karena inisiatif dari lembaga pesantren atau yayasan yang biasanya menaunginya. Misalnya, untuk mengembangkan kelajuan kurikulum atau perekonomian maka dilakukan berbagai upaya. Menurut Moh Arifin Purwakanata , direktur institut inovasi sosial indonesia, pemberdayaan ekonomi pesantren dapat dilakukan dengan berbagai upaya seperti dalam bentuk pengelolaan Kopontren (Koperasi Pondok Pesantren). Dalam pandangan ini, koperasi pondok pesantren bisa dimanfaatkan untuk mendukung pembiayaan operasional pesantren baik untuk pembiayaan makan santri  maupun memenuhi misi dan visi pendidikan.

Menurut pandangan penulis, ada tiga macam unsur terkait kemandirian dalam konteks pesantren. Pertama, kemandirian financial. Kemandirian ini secara riil meliputi semua biaya operasianal pesantren dari pihak pesantren sendiri. Selain mengelola koperasi pondok pesantren, biaya operasional pesantren tentu sangat mungkin bisa didapatkan dari program lainnya. Misalnya, pengolahan lahan sawah milik kyai atau yayasan. Selain itu, pesantren juga bisa menarik infaq.

Banyak yang bisa dialokasikan dari aspek kemandirian financial dalam konteks pesantren. Beberapa diantaranya bisa dialokasikan untuk penyediaan fasilitas, sarana prasarana, gaji pengajar atau ustadz. Semua itu bisa dipenuhi dari berbagai kegiatan yang dilakukan pesantren, seperti Kopontren dan pengelolaan lahan.

Kedua, kemandirian kurikulum. Kemandirian kurikulum dalam pesantren dapat diciptakan melalui rangkaian kegiatan pembelajaran yang mengarah pada education, seperti adanya program bidikmisi Tahfidzul Qur’an yang dilaksnakan oleh pemerintah untuk santri berprestasi. Selama ini pesantren telah berhasil menciptakan kurikulum sendiri tanpa harus dibantu oleh pemerintah. Pengurus pesantren, secara turun temurun telah mampu menciptakan konsep pemeblajaran melalui beberapa tingkatan. Misalnya, kajian kitab Taqrib yang membahas persoalan Fiqh biasanya diberikan untuk santri di kelas awal. Namun untuk santri yang lebih senior akan diberikan kajian Fiqh dalam kitab Fatqul Qorib yang penjabarannya lebih komprehensif. Ini yang bisa disebut sebagai kemandirian pesantren di bidang kurikulum.

Ketiga, kemandirian sosial. Kemandirian ini mencangkup diselenggerakannya kegiatan yang bersifat kemasyarakatan sebagai bagian dari aktualisasi ilmu yang sudah dipelajati santri. Tolak ukur atau indikator dari kemandirian ini cukup beragam, seperti peringatan maulid rosul dengan masyarakat serta pawai bertemakan sosial yang juga melibatkan masyarakat. Adanya budaya gotong royong yang begitu melekat di kalangan santri juga bisa dijadikan sebagai salah satu acuan kemandirian sosial bagi pesantren. Sebagai contoh, bagi seorang santri tentu tidak tabu dengan istilah ro’an. Ro’an adalah kerja bakti yang dialkuakn oleh seluruh santri dalam mengerjakan suatu hal. Pesantren tidak pernah lepas dari sikap kebersamaan yang begitu kental. Ini yang menurut penulis salah satu wujud riil kemandirian sosial pesantren.

Selain hal di atas, dalam pandangan lainnya kemandirian bisa mencakup atas keserasian dan kesinkronan dari tiga unsur, yakni kognitif (ilmu), afektif (moral) dan psikomotorif (amal). Ketiga aspek itu, pada praktiknya juga sangat berkaitan erat dengan sifat kemandirian pesantren. Selama ini alur ilmu-moral-amal sudah dijalankan secara berkesinambungan di pesantren. Santri diwajibkan belaja ilmu. Santri juga diwajibkan memiliki moral dari ilmu yang didapatnya itu. Serta santri pun juga diwajibkan mengamalkan ilmu yang didapatnya itu, Karena, ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah.

Dari uraian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pesantren dan sifat kemandirian sangat berkaitan erat, bagai simpul yang saling mengikat. Kemandirian berpotensi besar dimiliki oleh setiap pesantren. Sebab, selama ini pesantren sudah menjalankan dan menciptakan kemandirian di bidang financial, kurikulum serta sosial. Hanya saja, bisa jadi sebagian diantaranya belum tertata secara baik dan terprogram. Hal itulah yang berpotensi membawa pesantren sebagai sebuah ‘industri’. ‘Industri; positif sesuai dengan konteks pesantren, mengajarkan ilmu, moralitas keilmuan sekaligus mengamalkannya. Ini justru menjadi ‘industri’ yang tak ternilai bagi pembangunan nasional yang dimulai dari daerah.

*) Penulis adalah peserta kelas menulis Al-Ittihad siswa kelas XII MA Unggulan Ulumiyyah, santri Ponpes Nahdlatut Tholibin al-Islamiyyin Kebonharjo Jatirogo, .