Sabtu, 26 November 2016

Lima Landasan Kepemimpinan Amanah

Oleh: Novita Sari *)

Setiap insan pastinya memiliki prinsip hidup yang berbeda- beda untuk menggapai hal yang diinginkannya. Dalam kehidupan ini, banyak orang yang tanpa sadar telah menjadi seorang pemimpin. Pemimpin tidak harus mereka yang menempati jabatan Presiden, Bupati, atau pun Gubernur. Contoh kecil yang dapat kita saksikan antara lain, pemimpin dalam organisasi sekolah, pemimpin dalam sebuah perkantoran,dan masih banyak lagi.

Namun menjadi seorang pemimpin tidak semudah seperti yang dipikirkan. Menjadi pemimpin haru memiliki bekal. Berikut beberapa hal yang bisa menjadi bekal bagi seseorang agar bisa menjadi pemimpin yang amanah.
.                  
Pertama, berani dan teguh hatinya. Seorang pemimpin harus berani bertindak dan mengambil keputusan dengan benar dan bijaksana. Juga harus teguh hatinya, jangan mudah berputus asa atau menyerah untuk menggapai tujuan.

Kedua, tidak egois.  Jika seorang pemimpin bersikap egois, maka akan berantakan apapun yang dipimpinnya. Karena sikap keegoisan pemimpin akan membuat anggota dan masyarakat di bawahnya merasa tidak nyaman. Bisa jadi seorang pemimpin hanya memikirkan dirinya sendiri, seolah tidak memerlukan anggota dan masyarakat.

Ketiga, rela berkorban dan mengayomi. Seorang pemimpin harus memiliki hal ini pada dirinya. Ia harus rela berkorban baik kekuatan atau pun hartanya untuk rakyat serta anggotanya. Dan ia harus mampu mengayomi masyarakatnya. Membuat masyarakat merasa damai, tentram, dan nyaman dibawah pimpinannya.

Keempat, bertanggung jawab. Pemimpin yang baik adalah seseorang yang bertanggungjawab atas apa yang telah diputuskan, yang telah diucapkan dan hal apa pun yang telah dipertimbangkan untuk dilakukan.

Kelima, adil. Sikap adil seorang pemimpin pastinya dibutuhkan oleh anggota dan masyarakat yang dipimpinnya.  Pemimpin harus bersikap adil dalam mengemban tugasnya, serta tidak membeda–bedakan masyarakat dan anggotanya. Sehingga tidak ada rasa pilih kasih baik anggota ataupun masyarakat.

Mungkin lima hal tersebut tidak sepenuhnya menjadi landasan untuk seseorang menjadi pemimpin. Yang pasti seorang pemimpin harus memiliki budi pekerti yang luhur dan sikap saling menyayangi serta menghargai sesama.

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa,  siapa pun itu bisa menjadi seorang pemimpin, tetapi dengan menganut aturan–aturan yang telah ada dan tetap mengedepankan sikap tangung jawab dalam mengemban setiap tugas.

Novita Sari (Al-Ittihad)
Dari hal ini semoga kita bisa menjadi seorang pemimpin, meskipun tidak untuk semua orang tetapi pemimpin untuk memimpin langkah menuju jalan yang lurus dan di ridhoi oleh Allah SWT.    

*) Siswa kelas XII MA Unggulan Ulumiyyah Kebonharjo.                                                                             

Rabu, 23 November 2016

Rintis Jalan Entrepreneur, Tak Segan Cari Rumput Setelah Mengajar

Ustadz Da'in Munthoha


Al-Ittihad – Sekilas dari mimic wajahnya, ustadz yang satu ini terlihat pemarah. Namun anggapan itu salah. Ternyata ustadz yang terkenal kedisiplinannya itu bersifat humoris dan baik hati.

Hal itu terlihat pada saat ia menghukum siswa bermasalah. Hukuman yang ia berikan itu tidak pernah mencerminkan kekerasan. Paling banter, siswa yang bermasalah dengan aturan hanya diminta untuk membersihkan area sekolah.

Ustadz itu bernama Da’in Muthoha S.E. Guru olahraga sekaligus pengajar IPS di MTs Ulumiyyah Kebonharjo ini adalah putra tunggal dari pasangan Bapak Warsidi dan Ibu Karsini. Ia sangat menggemari olahraga.

Selain untuk refreshing setelah lelah mengajar, olahraga ia gunakan sebagai kegiatan untuk kebugaran tubuh. Maklum, saja ustadz kelahiran 1 Maret 1994 ini memang tergabung dalam klub bola voly kampungnya.

Soal pengalaman organisasi, ustadz yang tinggal di Desa Bader Kecamatan Jatirogo ini adalah gudangnya. Ia sudah pernah terjun di berbagai organisasi, mulai dari OSIS, Dewan Ambalan, dan saat ini Saka Wirakartika. Ia juga merupakan pembina OSIS MTs Ulumiyyah.

Satu hal yang saat ini dalam proses untuk diwujudkan adalah menjadi seorang entrepreneur  sejati. Menurut ustadz yang masih melajang ini, entrepreneur adalah profesi yang sangat mulia. Sebab, dari profesi tersebut akan muncul lapangan pekerjaan yang secara otomatis menyedot pekerja-pekerja lainnya.

“Alasan lainnya mengapa saya ingin menjadi entrepeneur adalah karena seorang entrepreneur sudah pasti akan sealu berpikir. Pikiran akan selalu hidup karena berusaha,” kata alumnus SMAN 1 Jatirogo ini.

Saat ini, jalan untuk merintis menjadi entrepreneur sejati sudah dilakukan. Selain mengajar, ia juga menjalankan usaha ternak kambing etawa di rumahnya. Tak tanggung-tanggung, sudah belasan kambing etawa yang saat ini menjadi tumpuannya mewujudkan cita-cita sebagai entrepreneur sejati.

Demi cita-citanya itu, Ustadz Dain sama sekali tidak merasa malu harus mencari rumput untuk pakan kambing etawa miliknya. Semau itu ia lakukan setelah ia menyelesaikan tanggungjawabnya mengajar di MTs Ulumiyyah.

“Saya senang mengajar di MTs Ulumiyyah, karena merasa semakin dekat dengan agama. Jadi, tidak masalah jika setelah mengajar harus mencari pakan ternak. Itu sudah bagian dari proses mewujudkan cita-cita,” pungkasnya. (Alfina/Ida-MTs/Red)

"Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari"

(http://poskotanews.com/)

Al-Ittihad – Pada dasarnya guru tidak hanya berperan sebagai seorang pengajar saja. Guru seharusnya juga berperan sebagai orang tua bagi anak didiknya. Ya, menjadi pembimbing bagi anak didiknya sehingga menghasilkan generasi penerus yang berguna bagi agama, negara, dan bangsa.

Menjadikan anak didik sebagai pribadi yang berakhlakul karimah, sopan, teladan dan pandai adalah dambaan setiap guru. Sosok guru selalu mendambakan agar anak didiknya menjadi kebanggaan bangsa. Selain dengan usaha dan kerja keras, tak sedikit guru yang juga melantunkan segala doa untuk kesuksesan anak didiknya.

Sebagai golongan pelajar yang baik, tentunya harus selalu memiliki jiwa semangat dalam menjalankan perintah dan taat kepada guru. Dari sini semua itu, pelajar akan mendapatkan manfaat dari apa yang diajarkan oleh seorang guru.

Di satu sisi, saat ini juga dibutuhkan langkah komprehensif untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas, profesional dan proporsional bagi semua pihak. Harus ada usaha bersama dalam merumuskan konsep dan pelaksanaan aturan agar menghasilkan pendidikan yang diharapkan.

Ada baiknya, seorang guru bukan hanya memaksakan anak didiknya untuk melakukan hal yang menurutnya baik. Lebih dari itu, jika perlu seorang guru harus mampu terlebih dahulu memberikan contoh atas apa yang harus dilakukan oleh seorang anak didik. Sehingga, tidak ada istilah, ‘guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.

Menanggapi hal itu, KH. Abdul Manaf, salah seorang sesepuh Ponpes Nahdlatut Tholibin al-Islamiyyin (NTI) Kebonharjo mengatakan, seorang guru yang ideal tentunya mengajarkan kebaikan kepada anak didiknya, baik melalui teori maupun tauladan.

“Bahwa guru yang ideal harus bisa menjadi contoh dalam segala hal untuk anak didiknya. Guru tidak hanya berbicara namun juga mencontohkannya dalam perbuatan,” ungkap Kyai Manap.

Namun begitu menurut Kyai Manap, adanya pelajar yang taat atau melanggar aturan lebih banyak pada faktor pribadi. Kecil kemungkinan hal itu terjadi lantaran adanya faktor dari pihak lembaga pendidikan. Sebab, responsibilitas terhadap aturan yang berlaku tergantung kepada pribadi masing-masing.

“Taat tidaknya siswa terhadap suatu aturan bergantung pada diri masing-masing. Seperti halnya siswa yang belum memiliki kesadaran terhadap proses pendidikan akan mudah terpengaruh, baik karena faktor eksternal maupun faktor internal,” terang pengajar yang terkenal dengan ilmu fiqhnya itu.

Ia mengingatkan, bahwa kesempurnaan hanya murni milik Allah. Sehingga kesalahan dapat diperbuat oleh siapa pun, termasuk oleh seorang guru. Terkadang kesalahan seorang guru sebagai manusia kerap dijadikan oleh sejumlah pelajar untuk menjadi pembenaran melakukan pelanggaran aturan.

Sementara itu seorang pengajar MA Unggulan Ulumiyyah Kebonharjo, Ustadz Ahmad Yusron mengungkapkan, sudah seharusnya guru harus mampu memberikan pembelajaran yang bijak kepada siswanya. Guru harus memberikan contoh yang baik dalam hal sekecil apa pun, termasuk soal kedisiplinan waktu.

“Guru harus dapat memberikan pengarahan kepada siswa. Pendampingan dan motivasi dari dewan asatidz ini penting agar siswa tidak terlena dengan hal-hal negatif yang bebas beredar di lingkungan mereka,” jelas Ustad Yusron. (Afifah-Masithoh-MA/Red)

Senin, 21 November 2016

Kesabaran yang Berbuah Indah

(pelajarislam.com)

Oleh : Sintya, S. Pd *)

Ini kisahku, namaku Dina. Aku adalah anak satu-satunya anak perempuan dalam keluarga. Aku terahir dari keluarga yang amat sederhana. Ayahku bekerja sebagai kuli bangunan yang menenap, dan ibuku hanya seorang ibu rumah tangga. Walaupum penuh dengan kesederhanaan, kami hidup dengan bahagia. Aku menjalani hidup layaknya seperti anak remaja lainnya, aku sungguh bahagia dengan hidupku.

Namun kejadian 2 bulan yang lalu telah benar-benar merubah hidupku. Dokter memvonis ayahku akan mengalami kelumpuhan permanen. Aku memutar otak apa yang harus aku lakukan dengan ijazah madarah aliyyah ini. Ingin lanjut ke kuliah tapi tidak ada biaya. Hingga tiba pada suatu malam, yang kala itu adalah hari ulang tahunku yang ke 18 tahun. Harusnya aku bahagia tapi tidak untuk detik ini. Aku berfikir seolah-olah hidup tidak adil lagi bagiku.

Tepat pukul 24.00 ponselku  berbunyi, ada SMS masuk “Selamat ulang tahun” belasan SMS nasuk baik dari teman maupun keluarga. Dengan ditemani kesunyian malam, aku menata tekad ini. Aku akan tetap melangkah meskipun dalam kesulitan.

******

Mentari bersinar cerah, secerah hatiku yang kini sedikit lebih baik dari kemarin. Aku memutuskan untuk malanjutkan kuliah dan ini adalah hari pertamaku. Meskipun perekonomian keluarga sudah tidak seperti dulu lagi, ayah tetap memprioritaskan pendidikan menjadi yang nomor satu. Aku berusaha menbagi waktu antara kuliah dan bekerja. Selain untuk biaya kuliahku sendiri juga untuk membantu ibu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, saat ini ibuku juga bekerja menjadi tukang cuci. Di kampus aku memiliki seorang sahabat dekat, sejak SMA kami selalu bersama-sama. Dia selalu ada, baik diwaktu senang maupun susah. Indah, itulah panggilan akrabnya.

Tidak pernah terbayangkan jika hidupku akan menjadi begin, dulu aku amat dimanja. Namun kini jika aku menginginkan sesuatu aku harus bekerja terlebih dahulu. Aku berusaaha tegar menjalani kehidupan ini. Satu tahun berjalan, aku mulai terbiasa menjalani kehidupan semacam ini. Pagi kuliah dan malamnya bekerja di apotek. Hasilnya sudah lebih dari cukup untuk biaya ku,iahku dan membantu pengobatan ayah.

Namun badai kembali menggoyahkan keteguhan dan kesabaranku. Ibu pergi meninggalkan aku dan ayah. Kini aku hidup bersama ayah yang sangat menyayangiku dan kenangan seorang ibu yang meninggalkanku tanpa alasan apa pun. Tapi sedikit pun aku tidak pernah membencinya, karena di telapak kakinya surgaku.

Aku merubah ulang jadwal keseharianku. Selain kuliah dan bekerja, aku juga harus merawat serta menyiapkan keperluan ayah.
Ayah : “Nak, kamu sudah punya uang untuk bayar semester? Katanya besok kmu ujian,”.
Dina : “Belum ada yah,”.
Ayah : “Untuk meringankan biaya, jual saja apa yang ada di rumah ini agar kamu bisa ikut ujian,”.

Seolah-olah pikiranku jauh melayang, memikirkan barang apa yang harus aku jual. Tanpa sadar hingga malam pun tiba, mata ini sulit untuk terpejam. Rasa marah, benci, dan dengki bercampur jadi satu. Aku memutuskan untuk tidak menjual barang apa pun dan aku putuskan untuk tetap berangkat ujian dengan santai  dan melihat apa yang akan terjadi nanti.

Pagi pun tiba aku bergegas berangkat dan menuju ruangan lantai dua, saatnya ujian dimulai. Tiba-tiba terdengar suara keras yang membuat kaget semua penghuni ruangan itu. “Barang siapa yang belum membayar uang semester, dimohon keluar sekarang juga”.

Tanpa pikir panjang, seketika itu juga aku keluar dengan menitikkan air mata dan melangkah menuju taman yang ada di kampus. Suasana sepi dan hening membuat pikirannku tak karuan. Aku merasa tak berdaya, sedang mahasiswa lain terfokus pada ujiannya.

Tanpa aku sadari seorang laki-laki yang tak aku kenal menghampiriku, entah malaikat atau manusia yang berhati malaikat.
Laki-laki : “Nak, kenapa kamu menangis dan mengapa tidak ikut ujian?”.
Dina : “Aku belum bayar semester jadi tidak boleh mengikuti ujian,”.
Lali-laki : “Memangnya berapa yang kamu butuhkan nak?”
Dina : “Rp 600 ribu pak,”.
Laki-laki : “Tunggu di sini sebentar,”.

Laki-laki tidak kukenal tersebut masuk ke mesin ATM yang berada disamping kampus. Kemudian beliau menhampiriku kembali dan menyerahkan uang sebesar Rp 1,8 juta. Bahkan beliau tidak bertanya nama, alamat, aku pun tidak mengetahui namanya. Setelah aku mengucapkan terima kasih beliau langsung pergi.

Kini aku menyadari, ternyata masih banyak orang yang menyayangiku. Bahkan orang tersebut mungkin hanya satu dari seribu manusia yang berhati malaikat.

*****

Empat tahun berlalu, aku gunakan uang tersebut hingga menjadi perantara keberhasilanku menjalani perjalanan hidup yang panjang. Akhirnya selain sukses menyandang (S1) Sarjana Pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, aku juga sukses menjadi pengusaha roti. Saat itu, aku gunakan uang sisa membayar SPP dari pemberian laki-laki yang tidak aku kenal kemarin sebagi modal berbisnis roti. Sekarang aku sadar, bahwa sebagai manusia hanya bisa berencana. Hanya Allah SWT yang menentukan. Dengan semangat kerja keras, selalu berusaha, sabar, semua akan dapat tercapai.

*) Alumnus Unirow Tuban dan pengajar Bahasa Indonesia di MA Unggulan Ulumiyyah Kebonharjo.


Sabtu, 19 November 2016

Berhenti Merokok atau ‘Istiqomah’ Merokok

(Majalah Al-Ittihad)

Al-Ittihad – Rokok dan merokok menjadi bahasan yang selalu hangat walaupun sudah kerap diperbincangkan oleh masyarakat luas. Ada apa sesungguhnya dengan rokok atau merokok? Merokok memang menjadi kebiasaan oleh sebagian masyarakat. Ketika kebiasaan itu menjadi topik bahasan, entu saja akan muncul banyak pendapat dan pernyataan.

 Dalam dunia pemasaran barang, rokok menjadi produk yang menduduki peringkat pertama dalam memberikan slogan kejujuran. Mulai dari slogan ringan hingga slogan berat, seperti “Rokok menyebaban penyakit” hingga “Rokok membunuhmu”, terdengar nyaring di telinga masyarakat luas.

Sebagian masyarakat cuek atas adanya slogan-slogan yang terkesan menakut-nakuti itu. Sebagian yang lain, dan mungkin jumlahnya kecil, mengikuti slogan tersebut dengan berhenti atau setidaknya mengurangi intensitas dalam merokok.

Seorang dokter utama di Puskesmas Sale Rembang, dr. M. Anton menjelaskan, mengapa slogan tentang bahaya merokok ini dimunculkan. Menurutnya, tujuan dari slogan yang hampir selalu ada di bungkus rokok itu adalah untuk memeberikan pendidikan dengan didasari pertimbangan.

Perlu dicermati rokok tidak secara langsung bisa membunuh sebagaimana tertera dalam slogan yang ada di setiap bungkusnya. Namun, secara medis merokok memang memberikan resiko cukup besar terkena berbagai penyakit.

Hal itu karena zat-zat yang terkandung dalam rokok bisa menyebabkan berbagai penyakit kronis, seperti kanker paru, kanker mulut, kanker hidung dan lainnya. Penyakit-penyakit itu lah yang secara medis ditengarai bisa menjadi perantara seseorang kehilangan nyawa.

“Rokok mengandung ribuan senyawa Pb, yaitu senyawa yang dapat menyebabkan kanker. Berdasarkan riset, kanker termasuk dalam salah satu penyakit penyebab kematian tertinggi di dunia,” terang dokter berkaca-mata ini.

Berhenti merokok atau ‘istiqomah’ merokok, ungkapan seperti itu pada akhirnya kerap muncul di kalangan para perokok. Tentu saja masing-masing memiliki pendapat pribadi bergantung sudut pandangnya sendiri.

KH Fatchurrohman, pengasuh Ponpes Nahdlatut Tholibin Al-Islamiyyin (NTI) mengungkapkan, sejauh ini belum ada dasar khusus yang mengarah pada hukum merokok. Selama ini hukum rokok masih sering menjadi perdebatan.

“Prespektif rokok tergantung si perokok itu sendiri. Jika si perokok mendapat kemaslahatan (kebaikan) dari merokok maka rokok diperbolehkan, misalnya jika tidak merokok tidak dapat berpikir, merasa pusing atau sakit. Begitu pula sebaliknya,  jika si perokok mendapat kemadharatan (keburukan) dari merokok maka rokok menjadi haram, misalnya jika merokok akan bertambah sakit, dan sebagainya,” jelas KH Fatchurahman.

Dari kenyataan yang ada itu, bisa saja kita berpijak pada salah satu dasar yang digunakan sebagai rujukan sebagian ulama dalam menentukan hukum fiqih yaitu kaidah “jalbu masholih wa dar’u mafasid” atau mengambil kemaslahatan dan membuang kemadharatan. Tentu saja hal itu harus sesuai dengan konteks yang umum.

Selama ini, kendala orang yang sudah pernah merokok memang sulit untuk berhenti dan berpaling dari rokok. Dalam tembakau yang notabene menjadi bahan baku utama pembuatan rokok terdapat kandungan nikotin yang menyebabkan ketergantungan. Hal ini yang menyebabkan kebanyakan perokok susah berhenti dari kebangsaan merokok.

Mengubah kebiasaan memang susah. Namun dengan diawali kesadaran diri sendiri dan i’tikad baik untuk berubah akan membantu para perokok yang ingin berhenti dari aktivitas merokok. (Widya-/Red-MA)

Eyang Cungkup Ndalem, Pembawa Santri Pertama di Kebonharjo


PONDOK PERTAMA : Ponpes Nahdlatut Tholibin al-Islamiyyin (NTI) menjadi pesantren yang pertama kali berdiri di Desa Kebonharjo. (Majalah Al-Ittihad)
Al-Ittihad - Beberapa abad silam Desa Keben atau yang biasa kita sebut Kebonharjo Kecamatan Jatirogo Tuban, kedatangan seorang ulama besar yang pertama kali membawa risalah Islam di wilayah ini. Beliau bernama Eyang Cungkup Ndalem yang memiliki nama asli M Thohir atau biasa dipanggil Mbah ndalem. Ia merupakan  pejuang dari tanah Ambon yang kala itu  sebagai demang di Keben.

Tidak hanya Mbah Ndalem, setelah beberapa tahun Keben juga disinggahi seorang pejuang yang saat itu sebagai anak buah Pangeran Diponegoro. Beliau adalah Mbah Buyut Pande, seorang ulama’  yang berasal dari Kota Rembang Jawa Tengah.  Mbah Buyut Pande juga dikenal sebagai pembuat benda-benda pusaka.

Dari pejuang tersebut, hanya keturunan Mbah Buyut Pande yang sampai saat ini bisa meneruskan memperjuangkan Agama Islam di Desa Kebenharjo, yaitu lewat seorang putrinya yang bernama Buyut Senen.

Setelah beranjak dewasa  Buyut Senen tercatat  dipersunting oleh Mbah Towijoyo (seorang ulama’ dari Desa Paren Kabupaten Rembang). Dari semua keturunan keturunan mereka hanya dari Mbah Toyiban yang sampai saat ini bisa meneruskan perjuangan mesyiarkan ajaran Islam di Kebenharjo.

Dengan semakin maraknya masyarakat yang memeluk Agama Islam, Mbah Toyiban akhirnya punya inisiatif untuk membangun pondok pesantren. Pesantren itu adalah yang pertama kali berdiri di daerah Kebonharjo.

Perjuangan pun tak berhenti, santri Mbah Toyiban terus bertambah hingga berasal dari luar daerah seperti Demak, Bojonegoro, Lamongan, Kendal dan masih banyak dari daerah-daerah lainnya. Konon, dari berbagai riwayat cerita Mbah Toyiban juga diyakini memilki santri dari bangsa jin. Jin-jin tersebut saat itu mengabdi bersama beliau dalam menyebarkan Agama Islam.

Perlu diketahui, pada masa itu bangunan masjid dan pesantren masih begitu sederhana. Bangunannya berbahan gladak dan pagar bambu. Setelah banyak santri yang menghuni pesantren, akhirnya keluarga dari Mbah Toyiban pindah dan bergeser ke sebelah barat jalan yang saat ini ditempati Ponpes Nahdlatut Tholibin Al-Islamiyyin (NTI).

Setelah Mbah Toyiban wafat, perjuangan pun dilanjutkan oleh anak cucunya KH Ridlwan dan KH Masduki. Hingga sampai saat ini pesantren berada di bawah naungan KH. Fatchurrohman yang merupakan salah seorang putra dari KH Ridlwan. (Tulisan ini merupakan penggabungan cerita dari para sesepuh Desa Kebonharjo/Fatim-Masithoh/Red/MA)

Madrasah Perlu Miliki ‘Kultur Madrasah’

Oleh : Da’in Muthoha SE *)

Madrasah hendaknya menjadi tempat di mana semua siswa dapat belajar dengan baik. Madrasah harus menjadi lembaga yang adil dengan memberikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang sama baik secara kualitas maupun kuantitas bagi setiap siswa. Ini didasarkan pada asumsi bahwa setiap anak dilahirkan dengan tingkat kecerdasan bawaan yang sama dan kemampuan lebih, merupakan hasil pencarian ketimbang anugerah.

Seorang anak bisa menjadi lebih atau kurang cerdas disamping tergantung pada kondisi keluarga, juga pada lingkungan sosial dan pendidikan ia alami. Di sinilah madrasah diharapkan dapat memainkan peranan penting dalam pembentukan intelektual, emosional, dan spiritual anak.

Madrasah seharusnya menjadi wadah pemupukan kecerdasan setiap siswa dan di atas segalanya. Hal itu untuk menjamin agar setiap anak mendapat kesempatan belajar yang sama dan layak. Untuk mendapatkan hasil pendidikan yang optimal tersebut, madrasah perlu memiliki kultur yang seharusnya memang dimiliki oleh madrasah. Kultur tersebut di antaranya adalah lingkungan yang teratur, kesepakatan dan kerjasama antarguru, konsentrasi kepada kemampuan dasar dan waktu yang dibutuhkan untuk belajar, pemantauan terhadap kemajuan siswa, administrasi dan kepemimpinan, kebijakan yang melibatkan orang tua dan harapan yang tinggi.

Berkenaan degan itu, tiga karakter dasar madrasah perlu dikembangkan secara menyeluruh di semua madrasah. Tujuannya, agar dapat menciptakan madrasah yang mendekati kriteria-kriteria idealisme pendidikan yang diharapkan.

Pertama, memiliki kultur yang kuat. Kultur merupakan jiwa madrasah yang memberikan makna bagi setiap kegiatan kependidikan Madrasah dan menjadi jembatan antara aktifitas dan hasil yang dicapai. Kultur adalah sebuah keadaan yang mengantarkan siswa madrasah melebihi batas-batas kekurangan manusiawi menuju tingkat kreativitas, seni dan intelek yang tinggi. Kultur juga merupakan kendaraan untuk mewujudkan atau  mencapai nilai-nilai pendidikan. Karena itu kultur Madrasah, dalam hal ini kultur belajar, haruslah dibangun sejak awal agar semua elemen madrasah memiliki komitmen untuk kemajuan madrasah.

Kedua, kepemimpinan kolaboratif dan belajar kolektif. Kepemimpinan dalam madrasah haruslah didefinisikan sebagai sebuah proses belajar bersama yang saling menguntungkan yang memungkinkan seluruh unsur warga madrasah turut ambil bagian  dalam membangun madrasah. Kolaborasi yang dimaksud bukan hanya sekedar berarti setiap orang mampu menyelesaikan pekerjaannya, tapi yang terpenting adalah semuanya dilakukan dalam suasana kebersamaan dan saling mendukung. Kolaborasi menjadi menjadi learning organization (belajar berorganisasi) karena hal itu berhubungan erat dengan norma dan kesempatan bagi terjadinya proses belajar yang terus menerus.

Ketiga, membiasakan siswa mengadapi perubahan. Hidup adalah perubahan secara alami yang tidak bisa diprediksi. Agar bisa memahami dan berbuat dalam kondisi yang tidak bisa diprediksi tersebut, sebuah upaya pendidikan yang terus menerus, seumur hidup menjadi sebuah kemestian. Dengan kata lain untuk menciptakan budaya belajar yang terus menerus maka perubahan perlu diciptakan.

*) Penulis adalah guru Mapel IPS dan Olahraga MTs Ulumiyyah.


`

Saiful


(Muslimahdaily.com)


Saiful

Athoirrohman, S. Pd. I *)


Di hari ke tujuh wafatnya ibunya, Saiful masih saja termenung murung di kamar dan tak mau keluar. Pandangan matanya nanar dan berkaca-kaca menandakan masih ada kesedihan mendalam yang tersisa. Pak Dhe Sarjono, paman satu-satunya Saiful yang melihatnya dari seberang pintu kamar hanya menghela nafas dalam seperti ada kesedihan yang tertahan.

"Ful, ayo makanlah, Nak! Sudah seminggu ini kamu makan hanya sedikit saja," suara Pak Dhe Sarjono memecah keheningan kamar Saiful.

Ia hanya menoleh barang sekejap saja tanpa menyahut meski sepatah kata. Pandangan Saiful menatap ke atas langit-langit kamarnya. Ia tampak sangat terpukul dengan kepergian ibunya yang sangat ia cintai. Ibunya yang selama ini mengasuhnya sendirian saja dan tanpa bapaknya yang pergi meninggalkan ibunya semenjak Saiful masih berusia dua bulan.

Dari cerita pamannya, Saiful sedikit tahu tentang gambaran sosok ayahnya adalah orang kota. Ayah Saiful adalah seorang kontraktor yang cukup sukses. Perawakannya tinggi, gagah dan kulitnya bersih. Ibu saiful bertemu ayahnya saat ibunya bekerja di kota Semarang hingga akhirnya mereka menikah. Setelah menikah, ibu Saiful tidak lagi bekerja di kota karena dilarang suaminya dengan alasan untuk fokus mengurus anak saja.

Apalagi sudah hamil, maka ia kembali ke kampung halamannya, di daerah perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah sementara sang suami tetap berada di kota untuk mengurus pekerjaannya. Selanjutnya itu menjadi titik tolak cerita kehidupan Saiful dan ibunya. Semenjak kepergian suaminya ke kota, ayah Saiful itu tidak pernah kembali lagi ke desa barang sekali saja. Hingga Saiful lahir dan tumbuh menjadi anaka seusia SMA, tak pernah sekalipun melihat sosok ayahnya selain dari foto yang sudah kusam simpanan ibunya. Yang datang secara rutin hanyalah uang kiriman yang jumlahnya cukup besar untuk sekedar mencukupi kebutuhan hidup di desa.

Keadaan ini menjadikan kehidupan Saiful sangat berbeda dari anak-anak lain di desanya, kiriman uang yang rutin setiap bulan datang dari ayahnya itu sangat lebih dari cukup sehingga kondisi ekonomi keluarga Saiful tergolong kaya untuk ukuran orang desa hanya dengan uang kiriman ayahnya saja. Sehingga ibunya tak perlu lagi bersusah payah bekerja lagi.

Saiful pun sangat dimanja karna ia anak satu-satunya. Hal ini menjadikan Saiful memiliki sifat yang kurang baik.  Ia pun tumbuh menjadi anak yang bandel, badung dan “kemlinthi”  dan bossy sejak masih usia SD. Di sekolah sering sekali Saiful bertengkar dengan temannya, tapi ia punya banyak teman sebab sering mentraktir jajan.

Kenakalan Saiful semakin menjadi-jadi saat ia sekolah SMP. Baru masuk pertengahan semester kelas satu saja Ibunya sudah menerima panggilan guru BK gara-gara Saiful bertengkar dengan anak dari kelas lain. Dari rumah berangkat sekolah tapi tidak sampai sekolah sudah menjadi kebiasaan Saiful. Semakin naik kelas, tabiat Saiful bukan malah surut tetapi semakin akut. Di kelas dua Ia sudah punya geng berisi rata-rata anak bandel di sekolahnya. Saat menginjak kelas tiga menjadi puncak kebandelan Saiful. Ia dan kawan-kawannya kerap membuat keonaran di sekolah, menjadikan kegiatan pembelajaran sekolah terganggu. Bahkan saiful tak hanya sekali dipanggil ke ruang BK karena ketahuan merokok di kantin. Tapi Ia tetap bisa naik kelas karena ibunya rajin menyambangi wali kelas Saiful dengan membawa buah-buahan dan makanan.

Di awal semester pertama kelas tiga, Saiful dikeluarkan dari sekolah karena pihak sekolah sudah tidak bisa mentolerir masalah yang diperbuatnya. Ibu Saiful tak bisa menerima keadaan itu. Berbagai cara pendekatan ia lakukan agar Saiful tetap bisa sekolah di sana. Namun reputasi sekolah menjadi taruhan jika tetap mempertahankan keberadaan Saiful. Sehingga ia tetap dikeluarkan dari sekolah itu dengan status tidak baik.

Ini menjadikan saiful tidak bisa diterima di sekolah lain. Berbagai cara dilakukan ibunya untuk bisa memasukkan Saiful ke sekolah. Tapi melihat catatan buruk Saiful di sekolah pertama, banyak sekolah lain yang enggan menerimanya.

Drop-out dari sekolah, tak menjadikan kenakalan Saiful berkurang justru semakin parah. Ia kerap keluar naik motor yang sudah di complong knalpotnya di jalan-jalan kampung sehingga suara mesinnya menjadi sangat bising menggangu telinga orang-orang. Saiful pun menjadi buah bibir di kampungnya. Ia sudah dikenal dengan kenakalannya. Banyak ibu-Ibu yang menyumpah serapahi saiful saat ia lewat dengan motornya “amit-amit jabang bayi, jangan sampai punya anak seperti saiful,”. Begitulah yang kerap terucap dari orang-orang di kampungnya Saiful.

Mendegar rasan-rasan ini, ibu Saiful pun sebenarnya juga resah. Ia tak enak hati dengan para tetangga dan masyarakat desanya. Sampai-sampai ibunya punya keinginan bagaimana agar saiful dikirim ke kota saja menyusul ayahnya dan sekolah di sana. Tapi ia tak tahu harus kemana mencari ayah Saiful.  Pak Dhe Sardjono, kakak dari ibunya, menyarankan bagaimana kalau Saiful dipondokkan saja daripada di kampung menjadi buah bibir buruk. Paling tidak, di pesantren nanti Saiful bisa belajar untuk manjadi anak yang baik. Saran ini diterima ibunya. Ia pikir inilah solusi terbaik untuk menangani Saiful.

Pondok pesantren Alfalah asuhan KH. Husain menjadi pilihannya. Pondok yang terletak di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah itu dipilih karena tergolong pesantren tua dan kini berkembang sudah punya sekolah formal. Jadi nanti Saiful selain mengaji juga diharapkan bisa melanjutkan sekolahnya yang terputus. Saiful pun diberangkatkan ke sana dengan diantar ibu dan pak dhenya. Abah Husain, panggilan akrab pengasuh pondok Alfalah itu dengan senang hati menerima Saiful meski sang ibu saat sowan telah meceritakan bagaimana tabiat anaknya sewaktu di rumah. Bagi Abah Husain, tugas pendidik memang harus bersedia mendidik anak tanpa pilah-pilah. Senakal-nakal anak, ia tetaplah anak yang punya potensi untuk menjadi baik, sabar dan mendo’akan anak didik itulah kunci dan yang menjadi ruh pendidikan. Abah Husain memang dikenal sebagai kyai yang welas asih nan bijaksana. Keluarga Saiful pun menjadi lega dan sangat berterima kasih atas sambutan baik dan penerimaan Saiful nyantri di sana.

Hari demi hari dilalui saiful di pondok Alfalah. Namun saiful tetaplah Saiful dengan segala tabiatnya di rumah masih saja terbawa. Di pondok itu Saiful menjadi satu-satunya santri yang bandel. Belum genap tiga bulan mukim di sana, Saiful sudah membuat ulah. Ia ketahuan keluar malam ke kampung sekitar pondok untuk bermain play station dan merokok. Saiful pun dibawa santri keamanan pondok untuk dihadapkan pada Abah Husain.

“Ada apa, Kang?” tanya Abah Husain pada santri keamanan yang menghadap.
“Begini, abah. Saiful ini keluar dari pondok untuk main play station di kampung dan merokok. Kebetulan kami memergokinya saat kami keliling kampung untuk tugas patroli malam,” jawab Kang Huda, keamanan senior pondok Alfalah.
“Apa benar begitu, Ful?” Abah Husain menanyai Saiful yang sedari tadi menunduk gemetaran.

Saiful tak berani mengangkat wajah dan bersuara, hanya anggukan pelan saja saat ditanya Abah Husain.

Kang Huda memberanikan diri matur, ”Apa hukuman yang sebaiknya diberikan untuk Saiful ini, abah? Mengingat dua pelanggaran yang dilakukan, main play station dan merokok,”.

Abah Husain diam sejenak kemudian berucap dengan suara tegas tapi lembut, ”Sudah, bawa Saiful kembali ke kamarnya saja,”. Kalian tutup gerbang pondok dan lanjutkan tugas kalian seperti biasanya!”.

Kang Huda tak berani membantah apa yang diperintahkan Abah Husain, Ia pun membawa Saiful kembali ke kamarnya dengan rasa penasaran mengapa abah tidak memberi vonis hukuman pada Saiful?. Padahal menurut aturan pondok, apa yang dilakukan Saiful ini tergolong pelanggaran berat yang hukumannya tidak ada toleransi.

Sekembalinya di kamar, Saiful merenung penasaran mengapa dirinya tak dihukum oleh Abah Husain. Tapi di sisi lain ia juga senang karena lolos dari hukuman. “Ah, biarlah, yang penting aku aman, tak dihukum,” gumamnya.

Dua hari setelah kejadian itu, setelah jamaah magrib, Abah Husain mamanggil Saiful untuk menghadap. Saiful pun menghadap dengan membawa perasaan khawatir bercampur rasa takut. Tapi ia tetap menghadap meski dengan menahan gemetar. ”Wah, jangan-jangan abah memanggilku karena kejadian kemarin?” kata Saiful dalam hati.

Setiba di ruang tamu ndalem abah, Saiful langsung dikagetkan dengan suara abah dari balik korden ruang tamu, “Ful, kamu bisa naik motor?”.
“Saget, abah,” jawab Saiful dengan suara yang agak tertahan bercampur penasaran mengapa abah menanyai itu.
“Antarkan abah ke acara kondangan di rumah pak Rt kampung sebelah. Biasanya yang antar Kang Huda tapi dia sedang belanja disuruh ibu tadi. Jadi abah minta kamu saja yang antar,”.
“Inggih abah,” Saiful tak berani menjawab lain kecuali mengiyakan dawuh abah.
“ayo berangkat, tak enak nanti kalau lama ditunggu Pak Rt,”.

Seusai kondangan dan pamitan pulang pada pak Rt, abah menghampiri Saiful yang menunggui motor. “Ayo pulang Ful, pelan-pelan saja. Nggak usah terburu-buru,” perintah abah kepada saiful saat menyalakan mesin motor.
“Inggih, bah,” jawab Saiful pelan.
Mereka pun berangkat dengan mengendarai motor matic milik abah. Di perjalanan, Abah Husain membuka percakapan dengan Saiful yang sedari tadi diam saja.
“Ful, mau sampean abah ceritai?” tanya Abah.

“Inggih, bah” jawab Saiful dengan pelan.
Abah Husain pun memulai ceritanya. Kisah yang Abah Husain dapat sewaktu masih nyantri di pesantren Jawa timur.

Begini Ful, Diceritakan seorang Kyai Fulan, beliau sangat masyhur di daerahnya. Bukan saja kealiman ilmunya tetapi budi pekertinya juga sangat baik. Suatu saat sang Kyai diundang kenduri oleh warganya. Maka beliau bergegas menghadiri undangan tersebut dengan mengajak seorang santri sebagai pendamping.

Jamuan pun dihidangkan dan kyai juga tidak ketinggalan menikmati hidangan yang disediakan
tuan rumah. Selesai makan sang kyai merasa ada "sesuatu" yang mengganggu pada giginya. Ya ada sisa daging yang menyelilit, kyai sudah berusaha menghilangkan sisa makanan tetapi gagal. Rupanya tidak ada alat untuk digunakan menghilangkan sisa makanan itu.

Setelah selesai sang kyai segera pulang. Tapi dia masih terganggu oleh sisa makanan. Karena terganggu maka sang kyai berusaha mencari alat untuk menghilangkan sisa makanan itu. Di sebuah perkebunan beliau melihat pagar dari bamboo. Tanpa pikir panjang beliau memerintahkan santrinya untuk mematahkan bambu yang akan digunakan menghilangkan sisa makanannya.

Waktu terus berjalan, kemudian sang Kyai Fulan meninggal dunia. Suatu hari sang santri yang dulu mengantar sang kyai berziarah. Entah mengapa sang santri tertidur di makam sang kyai. Di tengah tidurnya sang santri bermimpi bertemu dengan sang kyai itu.

"Assalamu'alaikum wahai kyai," kata Santri.
"Walaikum Salam santriku," jawab kyai.
"Waduh kyai kenapa badannya seperti ini? Bukankah kyai ahli ibadah," tanya santri penasaran karena melihat badan kyainya penuh sisa cambukan.
"Oh santriku, memang aku ahli ibadah. Namun kau masih ingatkan waktu pulang dari kenduri. Aku mencuri bambu, dan rupanya si pemiliknya tidak rela. Sehingga aku disiksa demikian," kata sang kyai sambil menunjukkan luka-luka di badannya.
"Santriku, tolong aku. Mintakan kehalalan dari pemilik kebun yang kucuri pagar bambunya itu," kata kyai sambil menangis.

Sang santri terjaga dari tidurnya. Ia segera pulang dan menemui pemilik kebun yang dulu pagar bambunya dicuri sang Kyai. Sang santri menceritakan hal ihwal yang menimpa kyainya. Kemudian pemilik kebun menghalalkan apa yang telah diambil sang kyai.

Pada waktu yang lain sang santri bermimpi bertemu dengan sang kyai. Dalam mimpinya kali ini sang santri melihat wajah sang kyai berseri-seri dan tubuh yang bersinar-sinar. Rupanya setelah sang pemilik kebun menghalalkan, maka Allah pun juga mengampuni dosanya.

Renungkan cerita tadi Ful, agar kita terhindar dari perbuatan yang tidak terpuji, meskipun itu sangat sepele. Kalimat terakhir Abah Husain itu bagai palu yang memukul dinding hati Saiful. Ia yang sedari tadi diam menyimak cerita Abah Husain semakin terdiam tak berkata-kata. Sesampai di pondok, Saiful masih merenungi ucapan abah. Semalam suntuk ia tak bisa tidur. Berbagai perasaan berkemacuk di dadanya, mulai dari  pelanggaran yang ia lakukan dan dilaporkan ke abah, sampai ia tak dihukum, dan cerita dari abah tentang kyai serta pesan yang disampaikan setelahnya.

Pagi-pagi setelah subuh, dengan menahan kantuk yang dahsyat, ia dikagetkan lagi dengan panggilan dari pengeras suara kantor pondok yang menyuruhnya untuk segera ke kantor.
“Ada ada apa lagi ini,” gumam Saiful sambil berlari kecil menuju kantor.

Sesampainya di kantor, ia terkejut melihat Pak Dhe Sardjono sudah menyambutnya dengan wajah seperti menahan tangis.
“Ful, ayo pulang, Nak., ibumu tidak ada”
Duerrrrrrr! Seakan suara petir halilintar menyambar Saiful yang berdiri mematung.

*** Selesai ***

*) Pegiat musik padang pasir dan pengajar Bahasa Inggris di MA Unggulan Ulumiyyah.